Pemilihan presiden tahun ini
masih meninggalkan perdebatan panjang yang tak kunjung usai. Pasca pemilihan 17
April lalu bukannya menimbulkan kesejukan bagi masyarakat tetapi sebaliknya,
muncul isu-isu baru yang membuat masyarakat kian dilematik dan bahkan
terpropokasi. Sebelumnya masyarakat sudah disuguhkan dengan berbagai isu-isu
yang tidak mendidik dan menimbulkan perpecahan pada masyarakat. Dan sekarang
masyarakat disuguhkan lagi dengan isu-isu yang berpotensi akan menimbulkan
kegaduhan terhadap kesatuan bangsa. Penyakit apa yang sebenarnya sedang melanda
para elite politik negeri ini?
Isu yang kembali muncul ialah
wacana “People Power” yang digaungkan
oleh Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais yang
menyebut akan melakukan people power
jika pemilu 2019 penuh kecurangan. Pernyataan tersebut tentunya menimbulkan pro
kontra pada masyarakat, juga pada para elit politik negeri ini. Jika kita
merujuk pada konstitusi dan hukum tentunya gerakan people power ini tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak memiliki
landasan yang kuat. Mengapa demikian, karena dalam sejarah bangsa Indonesia people power dilakukan akibat dari
pemeritahan yang otoriter dan tidak memihak rakyat. Seperti yang terjadi pada
masa orde baru dipemerintahan Soeharto. Kala itu pemerintahan yang dipimpin
oleh Soeharto sangat otoriter, masyarakat tidak bebas berbicara, semuanya
dibatasi. Sehingga muncullah gerakan Mahasiswa 1998 yang menumbangkan rezim
Soeharto. Tidak sesuai kemudian jika people
power dilakukan saat ini hanya karena tuduhan kecurangan pemilu, yang
seharusnya permasalahan itu jika memang terbukti bisa diselesaikan melalui
jalur konstitusi dan hukum.
Indonesia sudah melalui perjalan
demokrasi yang cukup panjang dan hasil pemilu merupakan suara rakyat yang juga
harus dihormati. Gerakan people power
apakah iya mewakili semua suara hati rakyat Indonesia? Tentu tidak. Lantas untuk
apa melakukan aksi yang menimbulkan pro kontra pada masyarakat, yang membuat
masyarakat kian terpecah belah, yang membuat masyarakat terpropokasi dan
menimbulkan hal-hal negatif lainnya. Melakukan people power hanya karena alasan kecurangan pemilu adalah sesuatu
yang cukup naïf karena hal tersebut sangat kental dengan nuansa politis yang
sebenarnya dilandasi oleh kepentingan tertentu dan hal itu juga menunjukkan
bahwa sebenarnya kita tidak siap menerima hasil demokrasi. Berapa banyak suara
rakyat yang terabaikan jika hal tersebut hanya diputuskan oleh kelompok
tertentu yang kemudian memunculkan wacana seolah-olah adanya pertarungan antara
rakyat dan konstitusi. Dan hal itulah yang harus diwaspadai agar tidak
menimbulkan konflik, dan jangan sampai kita sebagai Negara demokrasi malah
menunjukkan eskpresi-ekspresi ketidaksiapan berdemokrasi.
Saya ingin sedikit mengkaitkan
dengan pemikiran Ralf Dahrendorf
dengan teorinya “Struktural Konflik”
yang menjelaskan bagaimana struktur memiliki konflik. Asumsi dasar teori ini
ialah bahwa setiap struktur di dalam masyarakat memiliki elemen-elemen yang
berbeda. Elemen-elemen yang berbeda tersebut memiliki motif, maksud,
kepentingan atau tujuan yang berbeda. Perbedaan tujuan dan kepentingan tersebutlah
yang kemudian memberikan sumbangan bagi terjadinya disintegrasi, konflik dan
perpecahan. Pertanyaan yang kemudian muncul ialah apakah gerakan people power ini merupakan bentuk
kedaulatan rakyat? Atau bentuk kepentingan yang memiliki maksud dan tujuan tertentu?
Jika hal tersebut merupakan
bentuk kadaulatan rakyat atau bentuk penyampaian suara hati rakyat apakah bisa
dipastikan gerakan people power
tersebut merupaka suara dari seluruh rakyat Indonesia? Saya rasa tidak. Itulah
mengapa gerakan people power ini
sebenarnya merupakan bentuk penolakan hasil demokrasi, karena sangat kental
dengan nuansa politis yang berujung pada kepentingan kelompok bukan pada
kepentingan rakyat. People power yang
sebenarnya sudah dilakukan pada saat 17 April lalu dan tidak perlu lagi ada
gerakan people power apalagi hanya
karena tuduhan kecurangan pemilu yang dimana permasalahan itu bisa diselesaikan
melalu konstitusi dan aturan hukum yang berlaku jika memang hal itu benar-benar
terbukti. Saya rasa masyarakat juga sudah bosan dengan kegaduhan yang ada
dinegeri ini.
Merujuk lagi dari teori Ralf Dahredorf tersebut jika saya coba
menafsirkan bahwa sebenarnya gerakan people
power ini merupakan perbedaan kepentingan dan tujuan yang mengatasnamakan
kedaulatan rakyat. Mengapa demikian, karena tidak semua masyarakat sepakat
dengan hal itu. Hal inilah yang kemudian sangat berbahaya bagi kesatuan bangsa,
adanya perbedaan kepentingan dan tujuan yang kemudian diberi topeng dengan
dalih atas nama rakyat tetapi sebenarnya itu adalah kepentingan beberapa
kelompok saja. Dan hal tersebut sangat berpotensi menyebabkan disintegrasi dan
akan menimbulkan konflik pada masyarakat.
Untuk itu kita sebagai masyarakat
biasa harus cerdas dalam menyikapi segala bentuk gejolak yang ada dinegeri ini.
Setiap orang atau setiap kelompok pasti memiliki motif, maksud, kepentingan dan
tujuan masing-masing, tetapi kita harus mampu melihat apakah kepentingan
tersebut adalah untuk kemaslahatan atau tidak. Masyarakat harus cerdas dalam
menilai hal tersebut. Pada perinsipnya ialah Negara kita adalah Negara
demokrasi yang harus menghargai suara rakyat Indonesia dari sabang sampai marauke.
Maka tindakan-tindakan yang bernada melawan konstitusi harus kita hilangkan dan
jika memang harus melawan maka suara seluruh rakyat Indonesia harus dilibatkan
terlebih dahulu. Jangan sampai kita menunjukan tindakan yang tidak bersifat
demokratis.
Maka dari itu, untuk membangun Indonesia
tidak bisa jika masih ada kepentingan yang bertopengkan atas nama rakyat
Indonesia yang kita munculkan. Demokrasi adalah musyarawarah terbesar bangsa
ini, menjadi tugas dan kewajiban kita untuk membuatnya tetap utuh.
Penulis : Indrawan Nur Fuadi








0 komentar:
Posting Komentar