Jumat, 24 Mei 2019

People Power : Ekspresi Ketidaksiapan Berdemokrasi


Pemilihan presiden tahun ini masih meninggalkan perdebatan panjang yang tak kunjung usai. Pasca pemilihan 17 April lalu bukannya menimbulkan kesejukan bagi masyarakat tetapi sebaliknya, muncul isu-isu baru yang membuat masyarakat kian dilematik dan bahkan terpropokasi. Sebelumnya masyarakat sudah disuguhkan dengan berbagai isu-isu yang tidak mendidik dan menimbulkan perpecahan pada masyarakat. Dan sekarang masyarakat disuguhkan lagi dengan isu-isu yang berpotensi akan menimbulkan kegaduhan terhadap kesatuan bangsa. Penyakit apa yang sebenarnya sedang melanda para elite politik negeri ini?

Isu yang kembali muncul ialah wacana “People Power” yang digaungkan oleh Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais yang menyebut akan melakukan people power jika pemilu 2019 penuh kecurangan. Pernyataan tersebut tentunya menimbulkan pro kontra pada masyarakat, juga pada para elit politik negeri ini. Jika kita merujuk pada konstitusi dan hukum tentunya gerakan people power ini tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak memiliki landasan yang kuat. Mengapa demikian, karena dalam sejarah bangsa Indonesia people power dilakukan akibat dari pemeritahan yang otoriter dan tidak memihak rakyat. Seperti yang terjadi pada masa orde baru dipemerintahan Soeharto. Kala itu pemerintahan yang dipimpin oleh Soeharto sangat otoriter, masyarakat tidak bebas berbicara, semuanya dibatasi. Sehingga muncullah gerakan Mahasiswa 1998 yang menumbangkan rezim Soeharto. Tidak sesuai kemudian jika people power dilakukan saat ini hanya karena tuduhan kecurangan pemilu, yang seharusnya permasalahan itu jika memang terbukti bisa diselesaikan melalui jalur konstitusi dan hukum.

Indonesia sudah melalui perjalan demokrasi yang cukup panjang dan hasil pemilu merupakan suara rakyat yang juga harus dihormati. Gerakan people power apakah iya mewakili semua suara hati rakyat Indonesia? Tentu tidak. Lantas untuk apa melakukan aksi yang menimbulkan pro kontra pada masyarakat, yang membuat masyarakat kian terpecah belah, yang membuat masyarakat terpropokasi dan menimbulkan hal-hal negatif lainnya. Melakukan people power hanya karena alasan kecurangan pemilu adalah sesuatu yang cukup naïf karena hal tersebut sangat kental dengan nuansa politis yang sebenarnya dilandasi oleh kepentingan tertentu dan hal itu juga menunjukkan bahwa sebenarnya kita tidak siap menerima hasil demokrasi. Berapa banyak suara rakyat yang terabaikan jika hal tersebut hanya diputuskan oleh kelompok tertentu yang kemudian memunculkan wacana seolah-olah adanya pertarungan antara rakyat dan konstitusi. Dan hal itulah yang harus diwaspadai agar tidak menimbulkan konflik, dan jangan sampai kita sebagai Negara demokrasi malah menunjukkan eskpresi-ekspresi ketidaksiapan berdemokrasi.

Saya ingin sedikit mengkaitkan dengan pemikiran Ralf Dahrendorf dengan teorinya “Struktural Konflik” yang menjelaskan bagaimana struktur memiliki konflik. Asumsi dasar teori ini ialah bahwa setiap struktur di dalam masyarakat memiliki elemen-elemen yang berbeda. Elemen-elemen yang berbeda tersebut memiliki motif, maksud, kepentingan atau tujuan yang berbeda. Perbedaan tujuan dan kepentingan tersebutlah yang kemudian memberikan sumbangan bagi terjadinya disintegrasi, konflik dan perpecahan. Pertanyaan yang kemudian muncul ialah apakah gerakan people power ini merupakan bentuk kedaulatan rakyat? Atau bentuk kepentingan yang memiliki maksud dan tujuan tertentu?

Jika hal tersebut merupakan bentuk kadaulatan rakyat atau bentuk penyampaian suara hati rakyat apakah bisa dipastikan gerakan people power tersebut merupaka suara dari seluruh rakyat Indonesia? Saya rasa tidak. Itulah mengapa gerakan people power ini sebenarnya merupakan bentuk penolakan hasil demokrasi, karena sangat kental dengan nuansa politis yang berujung pada kepentingan kelompok bukan pada kepentingan rakyat. People power yang sebenarnya sudah dilakukan pada saat 17 April lalu dan tidak perlu lagi ada gerakan people power apalagi hanya karena tuduhan kecurangan pemilu yang dimana permasalahan itu bisa diselesaikan melalu konstitusi dan aturan hukum yang berlaku jika memang hal itu benar-benar terbukti. Saya rasa masyarakat juga sudah bosan dengan kegaduhan yang ada dinegeri ini.

Merujuk lagi dari teori Ralf Dahredorf tersebut jika saya coba menafsirkan bahwa sebenarnya gerakan people power ini merupakan perbedaan kepentingan dan tujuan yang mengatasnamakan kedaulatan rakyat. Mengapa demikian, karena tidak semua masyarakat sepakat dengan hal itu. Hal inilah yang kemudian sangat berbahaya bagi kesatuan bangsa, adanya perbedaan kepentingan dan tujuan yang kemudian diberi topeng dengan dalih atas nama rakyat tetapi sebenarnya itu adalah kepentingan beberapa kelompok saja. Dan hal tersebut sangat berpotensi menyebabkan disintegrasi dan akan menimbulkan konflik pada masyarakat.

Untuk itu kita sebagai masyarakat biasa harus cerdas dalam menyikapi segala bentuk gejolak yang ada dinegeri ini. Setiap orang atau setiap kelompok pasti memiliki motif, maksud, kepentingan dan tujuan masing-masing, tetapi kita harus mampu melihat apakah kepentingan tersebut adalah untuk kemaslahatan atau tidak. Masyarakat harus cerdas dalam menilai hal tersebut. Pada perinsipnya ialah Negara kita adalah Negara demokrasi yang harus menghargai suara rakyat Indonesia dari sabang sampai marauke. Maka tindakan-tindakan yang bernada melawan konstitusi harus kita hilangkan dan jika memang harus melawan maka suara seluruh rakyat Indonesia harus dilibatkan terlebih dahulu. Jangan sampai kita menunjukan tindakan yang tidak bersifat demokratis.

Maka dari itu, untuk membangun Indonesia tidak bisa jika masih ada kepentingan yang bertopengkan atas nama rakyat Indonesia yang kita munculkan. Demokrasi adalah musyarawarah terbesar bangsa ini, menjadi tugas dan kewajiban kita untuk membuatnya tetap utuh.


Penulis : Indrawan Nur Fuadi

0 komentar:

Posting Komentar

Persaksian Semesta