Senin, 17 April 2023

Implikasi Islam Wasathiyyah Dalam Praktik Bernegara

Islam lahir sebagai sebuah agama yang mencita-citakan kedamaian dan kerukunan selalu hadir dan tetap tejaga dengan baik. Meski demikan, kedamian dan kerukunan sering kali goyah akibat meruncingnya perbedaan-perbedaan yang ada ditengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, Islam telah mengambil peran yang sangat penting dalam hal ini. Islam memiliki pandangan tersendiri bahwa dalam menyikapi setiap perbedaan, baik itu perbedaan agama, suku, ras ataupun budaya haruslah didasari dengan kepahaman dan yang menjadi titik temunya adalah kerukunan. Al-Quran menegaskan ini dalam surat Al-Hujurat Ayat ke 13 yang mengatakan; “Wahai manusia! Sungguh, kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa”. Isyarat yang disampaikan dalam ayat ini adalah bahwa dalam bermasyarakat kita harus melahirkan rasa toleransi, keberterimaan, keterbukaan dan kita perlu saling mengenal dengan baik. Lebih jauh dari itu, Islam merumuskan istilah “wasathan (moderasi)” sebagai referensi ummat dalam menyikapi setiap hal yang ada ditengah-tengah masyarakat. Istilah tersebut dikenal dengan Islam Wasathiyyah atau dalam bahasa yang lebih sederhana yaitu Islam Moderat.

Islam Wasathiyyah merupakan satu istilah yang menjelaskan nilai-nilai Islam yang lurus, Islam rahmatan lil aalamin, Islam yang tidak mudah menjustifikasi kelompok lain salah dan sesat ketika berbeda pendapat, Islam yang penuh akan keberterimaan, Islam yang penuh dengan kehati-hatian dalam memaknai realita sosial, Islam yang tidak menghina sesembahan orang lain dengan sebutan-sebutan yang tidak baik, Islam yang selalu terbuka mendengarkan pendapat orang lain tanpa harus mengucilkannya, Islam yang secara konsisten menjaga toleransi umat beragama. Islam yang sebagaimana dalam Al-Quran disebutkan “ihdinassiro tallmusstaqim” (tunjukilah kami jalan yang lurus). Makna lurus dalam ayat ini akan dapat dicapai ketika praktik keislaman itu sesuai dengan esensi yang seharusnya dijalankan. Tentunya bukan Islam yang dikaitkan dengan nilai-nilai radikal yang dalam pandangannya kelompok lain ataupun agama lain tidak memliki sisi kebenaran dan harus disingkirkan. Tidak juga Islam yang mendahulukan praktik sosial sehingga meninggalkan nilai-nilai prinsip yang pokok dalam agama Islam itu sediri. Islam Wasatiyyah mengajak umat untuk beragama dengan cara yang profesional dan proporsional. Makna profesional ialah kita sungguh-sungguh dalam menjalankan perintah agama. Profesionalitas dalam beragama inilah yang dalam pengertian Islam Washatiyyah harus diiringi secara proporsional. Maksud dari kata proporsional ini ialah bahwa agama ini dijalankan sesuai dengan kaidah yang ditetapkan tanpa harus melebih-melebihkan. Proporsi yang menjadi ketetapan agama tidak boleh dikurangi ataupun ditambahkan, terlebih lagi ketika itu memunculkan ketegangan-ketegangan sosial. Salah dalam memahami kaidah agama bisa meruncingkan perbedaan pendapat yang menyebabkan haromonisasi sosial menjadi terganggu. Maka Islam Wasatiyyah hadir untuk menjawab fenomena-fenomena yang mendegradasi nilai toleransi umat beragama yang terjadi dinegeri ini dengan mengajarkan bahwa Islam yang rahmatan lil alamin itu adalah Islam yang lurus, adil dan seimbang. Islam yang mengedepankan moderasi atau yang dimaknakan juga Islam yang berada pada jalur tengah dan penuh kehati-hatian dalam memaknai realita sosial yang secara terus menerus mulai menyentuh nilai-nilai agama. Sebagaimana ungkapan didalam Al-Quran surat Al-Baqarah (2): 143) yang menerangkan;


“Demikianlah kami jadikan kamu ummatan wasathan (umat pertengahan) supaya kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kamu”

Makna “wasathan” dalam ayat ini dijelaskan bahwa umat Islam sebagai umat terbaik, umat pilihan, umat yang adil dan seimbanng dalam kehidupannya. Dengan demikian untuk mewujudkan makna “wasathan” dalam surah Al-Baqarah tersebut, sebagai umat moyoritas dinegeri ini sudah sepatutnya kita kompak, utuh dan bersatu. Mencoba melapangkan hati dan menjalin saling keberterimaan dengan baik, menghargai pendapat satu sama lain, merawat kebhinekaan, menjaga segala bentuk toleransi, dan istiqomah mengawal Negara Republik Indonesia tetap dalam integrasi yang kokoh serta merangkul setiap elemen sosial baik dalam peraktik budaya, politik dan agama.

Indonesia sebagai negara yang kaya akan kebhinekaan menjadi wadah yang tepat dalam memperaktikkan Islam Wasathiyyah. Dalam praktik bernegara Islam Wasathiyyah patut mengambil peran yang sangat penting demi terciptanya harmonisasi sosial. Islam Wasathiyyah menjadi refrensi yang sangat akurat untuk merawat negeri ini agar toleransi umat beragama tetap terkawal dengan baik, sehingga benturan-benturan yang lahir karena kebhinekaan yang berpotensi menimbulkan konflik bisa teratasi dengan baik. Euforia politik yang terjadi di negeri ini menjadi satu fenomena bernegara yang nyaris memporak-porandakan integritas bangsa, meracuni ukhuwah insaniyah, ukhuwah wathaniyah dan bahkan nyaris merusak ukhuwah islamiyah. Praktik politik dalam bernegara selalu menjadi sorotan yang paling tajam terhadap terganggunya harmonisasi sosial, tidak jarang dijumpai euforia politik membawa dampak polarisasi yang massif dalam kehidupan bernegara. Indonesia yang pada dasarnya adalah negara kepulauan, kaya akan identitas etnis, adat istiadat dan budaya, serta dikenal dengan identitas agama yang beragam, dan masyarakat yang mudah terpengaruh menjadi sasaran empuk praktik politik identitas yang sewaktu-waktu mendisharmonisasi kebhinekaan. Praktik-praktik seperti ini akan sangat berpengaruh pada kondisi sosial masyarakat yang kemudian akan mendegradasi nilai-nilai moral, nilai-nilai agama yang seharusnya menjadi argumentasi dalam mencita-citakan masyarakat yang damai, beradab dan berilmu pengetahuan. Permainan media massa juga ikut serta dan mengambil bagian yang memberi dampak kurang baik terhadap romantisme bernegara. Dapat disaksikan bagaimana media massa menciptakan polarisasi baru ketika menyampaikan narasi-narasi politik, tidak sedikit ditemukan narasi-narasi yang disampaikan cendrung provokatif dan kaya akan kepentingan. Hal yang paling disoroti dari femomena bernegara dinegeri ini ialah bahwa narasi-narasi politik sering kali dibingkai menggunakan bahasa-bahasa agama. Saling menjatuhkan, saling menghinakan, saling mencela dan mencaci maki, bahkan tidak sedikit dijumpai prilaku saling mensesatkan lantaran berbeda pandangan politik.

Dengan demikian, implikasi Islam Wasathiyyah dalam mengelola negeri ini sangat dibutuhkan. Islam yang mengajarkan untuk menjalankan kehidupan ini secara seimbang, proporsional dan berkeadilan. Oleh karena itu, Islam membagi ruang-ruang yang tertata rapi sebagai refrensi ummat dalam menjalankan hidupnya sebagai makhluk sosial. Diantaranya ruang-ruang yang dimaksud ialah ruang muamallah, ruang akidah, dan ruang syariah. Islam mengajarkan untuk tidak berlebih-lebihan dalam segala hal. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw.


“Hindarkanlah dirimu dari sikap melampaui batas, karena sesungguhnya orang-orang sebelum kamu telah binasa karenanya”. (HR. Ahmad, Nasai, Ibu Majah dari Abdullah bin Abbas).

Pesan yang mendalam dari Rasulullah Saw. Mengingatkan bahwa setiap hal haruslah berada pada kaidah dan ketetapan yang berlaku. Tidak berlebih-lebihan dan tidak juga berkekurangan. Pedoman inilah yang harus dimengerti dengan baik dalam peraktik bernegara. Ruang-ruang yang tersedia harus diisi berdasarkan porsi dan kegunaannya masing-masing. Dalam hal ini ialah Ruang Muamallah, yang dalam perspektif Islam merupakan ruang untuk memperaktikkan segala bentuk kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya. Maka ruang inilah yang menjadi tolak ukur menjalankan sebuah negara, tolak ukur dalam berpolitik, tolak ukur dalam berbudaya, dan tolak ukur dalam bermasyarakat yang baik. Sangat keliru jika bersosial, berpolitik dan berbudaya harus dibawa ke ruang akidah. Dalam Islam ruang akdiah merupakan hablumminallah yakni hubungan manusia dengan Allah dan hanya Allah lah yang berhak menilai itu. Manusia tidak akan menjadi kafir ataupun sesat karena berbeda pandangan politik, manusia tidak akan tercela lantaran berbeda budaya, manusia tidak akan hina lantaran berbeda kepercayaan dan manusia tidak boleh dikucilkan lantaran berbeda pendapat. Inilah ruang muamallah, ruang yang sangat tepat untuk dijadikan refrensi dan tolak ukur dalam bernegara sehingga hal-hal yang sifatnya bhineka dan segala hal yang berpotensi menghasilkan perbedaan pendangan dapat disikapi dengan bijak agar semua praktik-praktik dalam bernegara baik itu praktik sosial, politik, ekonomi dan budaya tetap berada pada koridornya masing-masing. Wallahua’lam…


Penulis : Indrawan Nur Fuadi

0 komentar:

Posting Komentar

Persaksian Semesta