Puisi dan Senja

Senja bukan hanya pertanda hari yang telah usai, ia juga adalah rumah tempat bercerita. Tempat puisi menetap dan sajak paling sunyi di lahirkan.

Opini

Ide itu juga mahkluk hidup, perlu di rawat dan di asah. Menulis adalah salah satu cara paling ideal untuk menjaganya tetap hidup.

Journey

Perjalanan bukan hanya tentang jejak yang tertinggal, tapi ia juga adalah kenangan yang tetap hidup. Setiap orang memiliki caranya masing-masing untuk mengabadikan setiap perjalanan dalam hidupnya. Aku memilih menulis!

Social and Politics

Politik itu akan membunuh jika kita acuh tak acuh terhadapnya, tapi ia akan menjadi peta keadilan sosial jika kita memahaminya dengan baik. Kekuasaan tidak akan berkuasa seenaknya jika setiap mahkluk sosial memiliki peran dan peduli dalam setiap agenda politik. Harmonisasi kehidupan sosial adalah tujuan utama politik. Bukan kekuasaan!

Religion and Culture

Agama dan budaya adalah perpaduan. Beberapa orang sering menganggapnya bertentangan, tetapi agama dan budaya justru menjadi benda paling purba yang melekatkan manusia pada karakteristik dan nilai dalam kehidupan.

Jumat, 24 Mei 2019

People Power : Ekspresi Ketidaksiapan Berdemokrasi


Pemilihan presiden tahun ini masih meninggalkan perdebatan panjang yang tak kunjung usai. Pasca pemilihan 17 April lalu bukannya menimbulkan kesejukan bagi masyarakat tetapi sebaliknya, muncul isu-isu baru yang membuat masyarakat kian dilematik dan bahkan terpropokasi. Sebelumnya masyarakat sudah disuguhkan dengan berbagai isu-isu yang tidak mendidik dan menimbulkan perpecahan pada masyarakat. Dan sekarang masyarakat disuguhkan lagi dengan isu-isu yang berpotensi akan menimbulkan kegaduhan terhadap kesatuan bangsa. Penyakit apa yang sebenarnya sedang melanda para elite politik negeri ini?

Isu yang kembali muncul ialah wacana “People Power” yang digaungkan oleh Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais yang menyebut akan melakukan people power jika pemilu 2019 penuh kecurangan. Pernyataan tersebut tentunya menimbulkan pro kontra pada masyarakat, juga pada para elit politik negeri ini. Jika kita merujuk pada konstitusi dan hukum tentunya gerakan people power ini tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak memiliki landasan yang kuat. Mengapa demikian, karena dalam sejarah bangsa Indonesia people power dilakukan akibat dari pemeritahan yang otoriter dan tidak memihak rakyat. Seperti yang terjadi pada masa orde baru dipemerintahan Soeharto. Kala itu pemerintahan yang dipimpin oleh Soeharto sangat otoriter, masyarakat tidak bebas berbicara, semuanya dibatasi. Sehingga muncullah gerakan Mahasiswa 1998 yang menumbangkan rezim Soeharto. Tidak sesuai kemudian jika people power dilakukan saat ini hanya karena tuduhan kecurangan pemilu, yang seharusnya permasalahan itu jika memang terbukti bisa diselesaikan melalui jalur konstitusi dan hukum.

Indonesia sudah melalui perjalan demokrasi yang cukup panjang dan hasil pemilu merupakan suara rakyat yang juga harus dihormati. Gerakan people power apakah iya mewakili semua suara hati rakyat Indonesia? Tentu tidak. Lantas untuk apa melakukan aksi yang menimbulkan pro kontra pada masyarakat, yang membuat masyarakat kian terpecah belah, yang membuat masyarakat terpropokasi dan menimbulkan hal-hal negatif lainnya. Melakukan people power hanya karena alasan kecurangan pemilu adalah sesuatu yang cukup naïf karena hal tersebut sangat kental dengan nuansa politis yang sebenarnya dilandasi oleh kepentingan tertentu dan hal itu juga menunjukkan bahwa sebenarnya kita tidak siap menerima hasil demokrasi. Berapa banyak suara rakyat yang terabaikan jika hal tersebut hanya diputuskan oleh kelompok tertentu yang kemudian memunculkan wacana seolah-olah adanya pertarungan antara rakyat dan konstitusi. Dan hal itulah yang harus diwaspadai agar tidak menimbulkan konflik, dan jangan sampai kita sebagai Negara demokrasi malah menunjukkan eskpresi-ekspresi ketidaksiapan berdemokrasi.

Saya ingin sedikit mengkaitkan dengan pemikiran Ralf Dahrendorf dengan teorinya “Struktural Konflik” yang menjelaskan bagaimana struktur memiliki konflik. Asumsi dasar teori ini ialah bahwa setiap struktur di dalam masyarakat memiliki elemen-elemen yang berbeda. Elemen-elemen yang berbeda tersebut memiliki motif, maksud, kepentingan atau tujuan yang berbeda. Perbedaan tujuan dan kepentingan tersebutlah yang kemudian memberikan sumbangan bagi terjadinya disintegrasi, konflik dan perpecahan. Pertanyaan yang kemudian muncul ialah apakah gerakan people power ini merupakan bentuk kedaulatan rakyat? Atau bentuk kepentingan yang memiliki maksud dan tujuan tertentu?

Jika hal tersebut merupakan bentuk kadaulatan rakyat atau bentuk penyampaian suara hati rakyat apakah bisa dipastikan gerakan people power tersebut merupaka suara dari seluruh rakyat Indonesia? Saya rasa tidak. Itulah mengapa gerakan people power ini sebenarnya merupakan bentuk penolakan hasil demokrasi, karena sangat kental dengan nuansa politis yang berujung pada kepentingan kelompok bukan pada kepentingan rakyat. People power yang sebenarnya sudah dilakukan pada saat 17 April lalu dan tidak perlu lagi ada gerakan people power apalagi hanya karena tuduhan kecurangan pemilu yang dimana permasalahan itu bisa diselesaikan melalu konstitusi dan aturan hukum yang berlaku jika memang hal itu benar-benar terbukti. Saya rasa masyarakat juga sudah bosan dengan kegaduhan yang ada dinegeri ini.

Merujuk lagi dari teori Ralf Dahredorf tersebut jika saya coba menafsirkan bahwa sebenarnya gerakan people power ini merupakan perbedaan kepentingan dan tujuan yang mengatasnamakan kedaulatan rakyat. Mengapa demikian, karena tidak semua masyarakat sepakat dengan hal itu. Hal inilah yang kemudian sangat berbahaya bagi kesatuan bangsa, adanya perbedaan kepentingan dan tujuan yang kemudian diberi topeng dengan dalih atas nama rakyat tetapi sebenarnya itu adalah kepentingan beberapa kelompok saja. Dan hal tersebut sangat berpotensi menyebabkan disintegrasi dan akan menimbulkan konflik pada masyarakat.

Untuk itu kita sebagai masyarakat biasa harus cerdas dalam menyikapi segala bentuk gejolak yang ada dinegeri ini. Setiap orang atau setiap kelompok pasti memiliki motif, maksud, kepentingan dan tujuan masing-masing, tetapi kita harus mampu melihat apakah kepentingan tersebut adalah untuk kemaslahatan atau tidak. Masyarakat harus cerdas dalam menilai hal tersebut. Pada perinsipnya ialah Negara kita adalah Negara demokrasi yang harus menghargai suara rakyat Indonesia dari sabang sampai marauke. Maka tindakan-tindakan yang bernada melawan konstitusi harus kita hilangkan dan jika memang harus melawan maka suara seluruh rakyat Indonesia harus dilibatkan terlebih dahulu. Jangan sampai kita menunjukan tindakan yang tidak bersifat demokratis.

Maka dari itu, untuk membangun Indonesia tidak bisa jika masih ada kepentingan yang bertopengkan atas nama rakyat Indonesia yang kita munculkan. Demokrasi adalah musyarawarah terbesar bangsa ini, menjadi tugas dan kewajiban kita untuk membuatnya tetap utuh.


Penulis : Indrawan Nur Fuadi

Jumat, 10 Mei 2019

Politik Sebagai Ajang Kontestasi Untuk Kepentingan Organisasi


Tidak diragukan lagi bahwa organisasi merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan sosial masyarakat. Menurut Ibn Khaldun manusia diciptakan sebagai makhluk politik atau sosial, yaitu makhluk yang selalu membutuhkan orang lain dalam mempertahankan kehidupannya, sehingga kehidupannya dengan masyarakat dan organisasi sosial merupakan sebuah keharusan (dharury). Murujuk dari pendapat Ibn Khaldun tersebut semakin memperkuat bahwa organisasi sosial merupakan sebuah keharusan dan menjadi sesuatu yang sangat penting serta dibutuhkan oleh masyarakat.

Di Indonesia sendiri terdapat begitu banyak organisasi sosial kemasyarakatan yang hadir dan eksistensinya cukup masyhur dimata masyarakat Indonesia secara umum. Di Pulau Jawa misalnya, ada Nahdlatul Ulama’ sebuah organisasi sosial kemasyarakatan yang sangat besar dan terkenal di Indonesia, serta memiliki kader yang sangat banyak bukan hanya dari pulau Jawa saja tetapi tersebar ke seluruh penjuru Indonesia. Kemudian ada Muhammadiyyah, salah satu organisasi yang sangat besar juga yang ada di Indonesia yang massa kadernya tidak jauh berbeda dari jumlah kader Nahldatul Ulama’.

Di NTB sendiri atau di Lombok ini pada khususnya pun memiliki sebuah organisasi sosial kemasyarakatan yang bernama Nahdlatul Wathan yang didirikan oleh Maulana Syeikh Muhammad Zainuddin Abdul Majid atau yang sekarang ini di kenal sebagai pahlawan nasional satu-satunya berasal dari Nusa Tenggara Barat. Jumlah kadernya pun tidak jauh berbeda dengan Nahdlatul Ulama’ dan Muhammadiyyah meskipun Nahdlatul Wathan tidak lah sebesar Nahdlatul Ulama’ dan Muhammadiyyah. Namun eksistensinya juga cukup di kenal oleh masyarakat Indonesia secara umum.

Dan ada banyak lagi organisasi sosial kemasyarakatan yang ada di Indonesia yang eksistensinya pun juga tidak kalah dengan organisasi-organisasi yang saya sebutkan tadi. Menjadi sebuah keharusan memang bagi masyarakat untuk membuat sebuah wadah perjuangan bagi kelompoknya untuk memberikan yang terbaik kepada masyarakat, bangsa dan Negara. Hal inilah yang kemudian menjadikan organisasi sosial kemasyarakatan menjadi sangat lekat dengan nuansa politik. Karena tidak bisa kita nafikan memang dalam kondisi sosial kemasayarakatan sekarang ini, menjadikan politik sebagai alat untuk membangkitkan identitas organisasi adalah solusi yang dianggap paling tepat.

Masyarakat dipaksa untuk membuka mata selebar mungkin untuk melihat celah yang paling memberikan peluang untuk mengangkat identitas organisasinya masing-masing. Hal tersebut kemudian menjadi kempetisi yang sangat kental dengan nilai-nilai persaingan karena setiap kelompok masyarakat memperjuangkan identitas oganisasinya sendiri melalui jalur politik dan kekuasaan. Dan saya rasa hal itulah yang sekarang ini terjadi, yaitu menjadikan politik sebagai jalur yang paling memungkinkan untuk membangun kekuatan kelompok organisasi.

Hal demikian memang bukanlah merupakan sesuatu yang bersifat negatif, karena hal tersebut sesuai dengan naluri manusia yang selalu menginginkan yang terbaik didalam hidupnya begitu juga dengan kelompoknya. Sesuai juga dengan ayat didalam Al-Qur’an surah Al-Baqoroh ayat 148 yang artinya :“Berlomba-lomba dalam kebaikan”. Namun dalam konteks kehidupan sosial segala sesuatu harus ditafsirkan tidak hanya pada tampaknya saja, melainkan selalu ada tafsiran di belakang dari apa yang tampak oleh panca indera kita. Itulah sebabnya kita harus jeli dalam melihat segala fenomena yang ada dalam kehidupan sosial kita sehari-hari.

Harnold D. Lasswell (1936) : “Politik merupakan siapa yang mendapatkan apa, kapan dan bagaimana”.

Politik pada dasarnya memiliki tujuan kemaslahatan. Dalam pelaksanaannya, politik diibaratkan sebagai sebuah bongkahan batu dan manusia merupakan pelaku untuk memoles bongkahan batu tersebut.(Aristoteles, seorang filuf yunani). Namun tidak jarang juga politik digunakan sebagai alat untuk memenuhi kepentingan diri sendiri, baik itu kelompok organisasi maupun kelompok masyarakat dari daerahnya masing-masing. Oleh karena itu hal demikianlah yang membuat politik itu seperti yang dikatakan oleh Harnold D. Lasswell siapa yang mendaptkan apa, kapan dan bagaimana. Tidak mengerankan kemudian muncul statement-statement dari masyarakat yang mengatakan bahwa politik itu merupakan racun dan sangat kotor.

Di sisi lain kita melihat pertarungan yang muncul dikancah politik sekarang ini kental dengan persaingan antara organisasi satu dengan organisasi yang lainnya. Dalam pandangan yang positif hal itu merupakan sesuatu yang biasa karena sesuai dengan naluri kemanusiaan. Namun disisi lain juga kita harus memperhatikan hal-hal yang kemudian muncul dari keikutsertaan oganisasi kemasyarakatan dalam dunia politik. Jika ingin membangun masyarakat ataupun membimbing masyarakat saya rasa oganisasi sosial kemasyarakatan ataupun elit-elit dari sebuah organisasi sosial kemasyarakatan tersebut tidak harus terjun ke dalam dunia politik.

Bukan menjadi hal yang tidak baik, namun pertimbangan yang akan muncul ialah karena kita membawa identitas tertentu dalam dunia perpolitikan akan membuat kita berpikir bagaimana cara kita mengembangkan kelompok kita sendiri terlebih dahulu daripada kemaslahatan masyarakat secara luas. Hal ini sesuai dengan yang di katakana Lasswell siapa yang mendapatkan apa, kapan dan bagaimana. Siapa yang berkuasa maka dia sudah tau apa yang akan didapatkan dari kekuasaannya, kapan dan bagaimana cara mendapatkannya. Tidak heran kemudian setiap kali ada kontestasi politik selalu terjadi polarisasi-polarisasi dalam masyarakat, bukan menyatukan melainkan membuat masyarakat menjadi terkelompok-kelompokkan sesuai dengan kepentingan masing-masing.

Sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia tentu hal demikian akan berdampak tidak baik bagi kesatuan negera dan persaudaraan masyarakat. Politik tidak lagi menjadi sebuah jalan yang memiliki tujuan untuk kemaslahatan tetapi menjadi tujuan untuk kepentingan-kepentingan identitas, sesuai dengan identitas kelompok masing-masing. Dan hal ini memang harus di sadari oleh masyarakat Indonesia karena kemaslahatan untuk umat secara luas jauh lebih penting dari pada mengedepankan kepentingan identitas apalagi kepentingan pribadi yang nanti akan sangat berpotensi memunculkan polarisasi dalam masyarakat setiap kali adanya kontestasi politik.

Ibn Khaldun dalam bukunya Muqaddimah mengatakan bahwa masyarakat harus memiliki Ashobiyyah untuk mempertahankan kesatuan dan kekuatan negaranya. Ashobiyyah yang dimaksud ialah solidaritas yang secara kolektif kokoh dan kuat. Ketika solidaritas secara kolektif itu kuat maka kesatuan negara akan semakin kuat, namun ketika solidaritas secara kolektif itu lemah maka negara secara perlahan akan menemui titik kehancurannya.

Tentunya menjadi suatu teguran keras bagi kita sebagai satu kesatuan masyarakat dalam bingkai yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia ketika membaca dan mengkaji apa yang dikatakan Ibn khaldun dalam teorinya tentang “Ashobiyyah” tersebut. Dan menjadi tugas yang sangat penting bagi kita untuk lebih cerdas lagi dalam menghadapi gejolak politik yang terkadang membuat kita menjadi baik dan tak jarang juga membuat kita menjadi sesat.

Kontestasi politik 2019 ini sangat kental dengan tragedi polarisasi umat yang begitu massif. Hal ini yang kemudian membuat Ashobiyyah kita sebagai satu kesatuan masyarakat kian tidak terlihat bahkan mungkin hilang. Dan menjadi suatu kehawatiran besar bahwa hal ini akan membuat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai ini akan terpecah belah dan segera menuju ambang keruntuhannya. Untuk itu, sebagai satu kesatuan kita harus memiliki Ashobiyyah atau solidaritas secara kolektif yang kuat dan menghilangkan segala bentuk polarisasi umat agar negara kita ini memiliki pertahanan yang kuat dengan Ashobiyyah yang kuat pada masyarakatnya.

Menjaga persaudaraan dan kesatuan itu memang menjadi sebuah keharusan bagi kita sebagai warga negara. Dan ini tentunya menjadi tugas kita bersama untuk terus saling mengingatkan bahwa asset terbesar yang dimiliki bangsa ini adalah persaudaraan. Analisis saya mengatakan polarisasi massa yang sangat kuat dalam kontestasi politik sekarang ini ialah karena adanya hasrat yang membawa kita berkompetisi untuk membangun identitas masing-masing atau membangun identitas kelompok organisasi kita masing-masing. Sehingga hal demikian lah yang membuat polarisasi-polarisasi muncul didalam tatanan sosial kemasyarakatan. Dan hal ini pula yang membuat Ashobiyyah kita sebagai satu kesatuan kian luntur, karena adanya kepentingan identitas untuk membangun negeri.

Untuk itu menjadi suatu tugas yang sangat besar bagi kita semua, bahwa dalam membangun sebuah kesolidan, kesatuan dan katahanan negara yang kuat maka kita harus memiliki solidaritas secara kolektif yang kuat pula. Selalu menjaga persaudaraan, hentikan polariasasi yang begitu massif pada masyarakat, hentikan perkataan yang saling menghujat dan menghina serta segala bentuk sesuatu yang dapat merusak Ashobiyyah kita sebagai satu kesatuan. Dan mari kita bangun negara kita tercinta ini dengan solidaritas dan persaudaraan.

“Membangun Indonesia tidak akan bisa jika masih ada kepentingan Identitas yang kita hadirkan”.



Penulis : Indrawan Nur Fuadi

Persaksian Semesta