Puisi dan Senja
Senja bukan hanya pertanda hari yang telah usai, ia juga adalah rumah tempat bercerita. Tempat puisi menetap dan sajak paling sunyi di lahirkan.
Opini
Ide itu juga mahkluk hidup, perlu di rawat dan di asah. Menulis adalah salah satu cara paling ideal untuk menjaganya tetap hidup.
Journey
Perjalanan bukan hanya tentang jejak yang tertinggal, tapi ia juga adalah kenangan yang tetap hidup. Setiap orang memiliki caranya masing-masing untuk mengabadikan setiap perjalanan dalam hidupnya. Aku memilih menulis!
Social and Politics
Politik itu akan membunuh jika kita acuh tak acuh terhadapnya, tapi ia akan menjadi peta keadilan sosial jika kita memahaminya dengan baik. Kekuasaan tidak akan berkuasa seenaknya jika setiap mahkluk sosial memiliki peran dan peduli dalam setiap agenda politik. Harmonisasi kehidupan sosial adalah tujuan utama politik. Bukan kekuasaan!
Religion and Culture
Agama dan budaya adalah perpaduan. Beberapa orang sering menganggapnya bertentangan, tetapi agama dan budaya justru menjadi benda paling purba yang melekatkan manusia pada karakteristik dan nilai dalam kehidupan.
Jumat, 20 Desember 2019
Konsep Halal Tourism Bersahabat Dengan Kultur Masyarakat NTB
Jumat, 30 Agustus 2019
Penyebab Perkawinan Dini di NTB Di Tinjau Dari Pengaruh Kultur dan Adat Istiadat
Pekwaninan usia muda atau yang biasa disebut dengan pernikahan dini bukanlah merupakan permasalahan yang baru-baru muncul dimasyarakat NTB. Hal tersebut sudah menjadi momok yang bisa dikatakan sudah mendegradasi norma dan aturan undang-undang tentang usia pernikahan. Bukan menjadi permasalahan baru yang harus di antisipasi lagi melainkan hal tersebut merupakan permasalahan yang sudah ada sejak lama dan belum juga terselesaikan. Tercatat pada tahun 2018 ada sekitar 4.5% anak-anak yang menikah dibawah usia 15 tahun. Hal tersebut tentu menjadi PR bagi pemerintah NTB yang sekarang untuk mengantisipasi terjadinya pernikawinan dini yang lebih tinggi serta menyelesaikan juga permasalahan tentang pernikahan yang sudah ada. Pernikahan dini banyak sekali membawa efek negatif, baik itu terhadap lingkungan sosial ataupun terhadap dirinya sendiri. Efek negatif yang ditimbulkn oleh pernikahan dini bisa berupa salah satunya seperti menimbulkan depresi berat. Usia yang belum matang tentunya belum mampu menerima semua permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan rumah tangga, tidak hanya membawa efek negatif untuk dirinya sendiri tetapi juga orang lain yang ada disekitarnya. Selain itu hal yang akan rentan terjadi ialah perceraian. Hal itu disebabkan oleh usia yang belum matang dan belum mampu menyikapi segala sesuatu dengan lebih dewasa.
Masih banyak lagi hal-hal negatif yang muncul dari permasalahan pernikahan dini seperti putusnya pendidikan, kekerasan dalam rumah tangga, kesulitan ekonomi yang kemudian membuat anaknya menjadi terlantar, dan munculnya pekerja dibawah umur. Itu merupakan efek negatif yang disebabkan oleh pernikahan dini terhadap lingkungan sekitaranya. Belum lagi kita melihat efek negatif yang didapatkan oleh pelaku pernikahan dini itu sendiri, bisa sangat berbahaya untuk kesehatan fisiknya. Hal-hal yang kemungkinan besar terjadi pada anak yang menikah diusia muda ialah dapat menyebabkan terjadinya tekanan darah yang tinggi. Hamil di usia sangat muda memiliki risiko yang tinggi terhadap naiknya tekanan darah. Seseorang bisa saja menderita preeklampsia, yang ditandai dengan tekanan darah tinggi, adanya protein dalam urin, dan tanda kerusakan organ lainnya.
Pengobatan harus dilakukan untuk mengontrol tekanan darah dan mencegah komplikasi, tetapi secara bersamaan hal ini juga dapat mengganggu pertumbuhan bayi dalam kandungan. Hamil di usia remaja juga dapat menyebabkan anemia saat kehamilan. Anemia ini disebabkan karena kurangnya zat besi yang dikonsumsi oleh ibu hamil. Itu sebabnya, untuk mencegah hal ini, ibu hamil dianjurkan untuk rutin mengonsumsi tablet tambah darah setidaknya 90 tablet selama masa kehamilan. Anemia saat hamil dapat meningkatkan risiko bayi lahir prematur dan kesulitan saat melahirkan. Anemia yang sangat parah saat kehamilan juga dapat berdampak pada perkembangan bayi dalam kandungan. Jika kita menyadari hal itu tentu pernikahan dini merupakan hal yang berisiko untuk dilakukan, baik itu untuk kesehatan diri maupun dampaknya terhadap lingkungan. Untuk itu, pemerintah sangat perlu melakukan hal-hal positif yang dapat membantu mengurangi sekaligus mencegah kasus-kasus pernikahan dini di NTB terjadi lagi.
Namun berbicara tentang pernikahan dini tentu tidak lengkap rasanya jika kita meninjaunya dari segi kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan saja. Pembahasan tentang gender memang selalu menjadi pembahasan yang menarik untuk dikaji. Bahkan sampai saat ini belum bisa dikatakan bahwa pembahasan tentang gender merupakan sesuatu pembahasan yang sudah final untuk didiskusikan. Permasalahan ini sudah ada sejak zaman dahulu dimana hak-hak kaum perempuan sangat dibatasi bahkan di diskriminasi. Tidak hanya tentang kesehatan tetapi banyak hal yang berkaitan dengan keperempuanan selalu dibatasi kebebasannya bahkan untuk berpendapat sekalipun. Sebelum jauh berbicara tentang gender kita coba menyikapi hal-hal yang sudah terjadi dimasa lampau tentang gender dan batas-batas hak perempuan. Secara kultur atau sesuatu yang terbentuk dari kebiasaan masyarakat, Indonesia secara umumnya dan wilayah Nusa Tenggara Barat ini pada khususnya telah muncul sebuah stereotype yang mangatakan dan membatasi bahwa kaum perempuan hanya boleh melakukan hal-hal yang sudah dilabelkan pada perempuan tersebut. Seperti memasak, mencuci, mengurusi anak, dan semua pekerjaan yang ada didalam rumah.
Awal mulanya hal ini disebabkan oleh label yang diberikan masyarakat kepada perempuan yang muncul dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat dan kemudian hal itu menjadi sebuah kultur. Hal ini tentu menjadi sebuah ketidakadilan gender jika kagiatan perempuan dibatasi berdasarkan stereotype tersebut. Namun hal ini banyak tidak disadari oleh masyarakat secara luas karena hal tersebut dalam anggapan mereka merupakan sesuatu yang rumlah dan hal yang sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat. Dalam hal pendidikan pun demikian, stereotype yang muncul dimasyarakat ialah perempuan itu tugasnya hanya didapur dan mengurusi semua urusan rumah sehingga perempuan tidak diharuskan untuk memiliki pendidikan yang tinggi layaknya seorang laki-laki karena ujungnya akan kembali ke dapur juga. Demikianlah stereotype yang muncul didalam masyarakat tentang perempuan yang selama ini tidak disadari oleh masyarakat secara luas. Oleh karena itu tulisan ini mengarahkan kita kepada sebuah pemikiran baru dan sadar bahwa perempuan seharusnya memiliki kebebasan yang sama dengan laki-laki.
Namun saat ini kasus-kasus pernikahan dini tidak cukup lagi jika kita analisa hanya dari perpektif ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Karena dizaman modern seperti sekarang ini dimana perkembangan ilmu pengetahuan mengalami kemajuan yang sangat pesat sehingga ketidaksetaraan gender bisa tertutupi oleh ilmu pengetahuan yang sudah sangat maju. Karena tidak ada lagi batas-batasan antara laki-laki dan perempuan. Jika kita mencoba menelaah secara lebih mendalam pengaruh yang lebih kental terhadap banyaknya kasus pernikahan dini di NTB ini ialah karena adat istiadat dan kultur pada masyarakat. Hal inilah yang kemudian memberikan kemudahan pada masyarakat untuk melakukan pernikahan dini. Bukan berarti kita menafikan budaya yang sudah berkembang pada masyarakat tetapi dalam dunia pendidikan tentu kiranya kita harus mengkaji sisi baik dan dan sisi buruk dari kehidupan sosial masyarakat dan termasuk juga didalamnya kebudayaan masyarakat.
Berdasarkan data BKKBN NTB, 56,7 persen pasangan usia subur menikah pada usia di bawah 21 tahun. “Terdapat juga anak-anak kita yang menikah di bawah usia 15 tahun. Itu sekitar 4,5 persen,” ujar Makrifuddin. Dikatakannya, pasangan menikah di bawah umur di NTB paling banyak terjadi di kabupaten Lombok Timur, kemudian Lombok Utara. (HarianNusa.com 03/05/2019). Hal ini yang kemudian harus kita telaah secara lebih mendalam karena penyumbang pernikahan dini di NTB ini berasal pulau Lombok. Dalam hal ini kita mengetahui bahwa Lombok mempunyai kultur yang disebut dengan merarik. Merarik merupakan adat atau budaya yang berkembang pada masyarakat jika seseorang ingin segera menikah. Hal tersebut dilakukan dengan cara calon mempelai laki-laki mencuri calon mempelai perempuan yang kemudian dibawa ke suatu tempat dan memberi tahu orang tua calon mempelai perempuan dia akan menikahi putrinya.
Kemudian jika kita analisa justru dari budaya yang berkembang tersebut seolah pernikahan menjadi hal yang sangat mudah untuk dilakukan. Karena tidak perlu meminta izin secara langsung dan melalui proses yang panjang untuk menikahi mempelai perempuan kepada orang tuanya. Cukup hanya pada kesepakatan kedua calon pengantin saja pernikahan akan dapat dilakukan dengan cara mencuri si calon mempelai perempuan setelah itu baru calon mempelai pria mengatakan bahwa dia ingin menikahi si mempelai perempuan kepada orang tuanya. Dan orang tua perempuan tidak bisa menolak karena didalam kultur masyarakat jika perempuan sudah dicuri maka harus dinikahi. Dan tidak perlu lagi melakukan hal-hal yang cukup panjang seperti mempelai laki-laki dan keluarganya mendatangi calon mempelai perempuan kemudian melakukan pelamaran terhadap calon mempelai perempuan. Tentu jika seperti itu sebuah pernikahan tidak akan serta merta menjadi hal yang gampang untuk dilakukan.
Saya rasa karena pengaruh budaya yang berkembang pada masyarakatlah yang menjadi penyebab utama terjadinya kasus-kasus pernikahan dini di NTB. Sehingga pernikahan dini ini menjadi momok yang sangat sulit untuk diatasi oleh pemerintah. Untuk itu, perlu adanya peran pemerintah untuk mencerdaskan masyarakat agar sadar bahwa pernikahan dini merupakan sesuatu yang dapat menyebabkan masalah lingkungan dan juga dapat menyebabkan masalah pada kesehatan fisik dari pelaku pernikahan dini itu sendiri. Pemerintah harus melakukan pencerdasan budaya kepada masyarakat agar budaya yang sudah berkembang harus tetap disesuaikan dengan norma dan aturan yang sudah ada terkait batas usia minimal pernikahan. Selain itu masyarakat juga harus mampu melihat sisi-sisi negatif yang akan muncul akibat dari pernikahan dini tersebut. Karena dengan melihat efek-efek nagaitf yang ditimbulkan, masyarakat akan membuat suatu pertimbangan yang sangat berat untuk melakukan pernikahan dengan usia yang sangat muda. Biar bagaimana pun budaya merupakan warisan yang harus tetap dijaga dan dilestarikan dalam kehidupan sosial masyarakat, tetapi perlu dipertimbangkan juga hal-hal negatif akan muncul dari budaya yang berkembang pada masyarakat. Budaya tidak harus di hilangkan tetapi harus dijaga dan harus mampu disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahun.
Penulis : Indrawan Nur Fuadi
Jumat, 24 Mei 2019
People Power : Ekspresi Ketidaksiapan Berdemokrasi
Jumat, 10 Mei 2019
Politik Sebagai Ajang Kontestasi Untuk Kepentingan Organisasi
Jumat, 18 Januari 2019
Debat Pertama, Wawasan Kebangsaan Capres Cawapres Tidak Teruji
Pemilhan presiden tahun 2019 ini memang menjadi tahun
pilpres yang sangat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Bisa dikatakan pilpres
tahun ini adalah pilpres yang paling unik dengan segala sensasi yang dibuatnya.
Berbagai macam isu-isu bermunculan yang kemudian menjadi pembicaraan hangat
para politisi. Baru saja kita sama-sama menyaksikan debat pertama capres dan
cawapres tahun 2019 yang diselenggarakan secara terbuka oleh KPU. Masyarakat
dengan sangat terbuka dan bebas menyaksikan jalannya perdebatan capres dan
cawapres itu.
Dengan adanya debat capres cawapres ini tentu sangat
memudahkan masyarakat dalam menilai kriteria calon presiden dan wakil presiden yang
akan dipilihnya. Perdebatan adalah salah satu batu uji yang sangat efektif dalam
menilai kualitas calon presiden yang akan kita pilih, karena melalui perdebatan
ini kita mampu menilai sejauh mana kedalaman narasi calon presiden dalam
melihat permasalahan negara dengan cara yang benar-benar fundamental. Dalam hal
ini calon presiden tentunya dituntut untuk memiliki wawasan kebangsaan yang
luas dan mendalam.
Namun setelah menyaksikan debat pertama capres cawapres
dengan tema Hukum, HAM, Korupsi dan Terorisme, wawasan kebangsaan capres
cawapres saya rasa perlu dipertanyakan. Kita mampu menilai bahwa dalam hal ini
wawasan kebangsaan capres cawapres harus di uji dengan lebih tajam lagi. Saya
rasa banyak yang sepakat bahwa debat yang berlangsung pada 17 Januari 2019 itu
berjalan dengan sangat tidak menarik. Wawasan kebangsaan capres cawapres belum
teruji dengan benar-benar tajam. Semua itu terlihat dari hal-hal yang menjadi
argumentasi utama adalah data-data kuantitatif yang lebih bersifat mengarahkan
perdebatan ke arah angka-angka dan jauh dari perdebatan yang bersifat
paradigmatik.
Hal-hal yang lebih bersifat filosofis dan fundamental
terkait tema debat tidak kita saksikan selama jalannya perdebatan. Jelas dalam
hal ini wawasan kebangsaan capres cawapres tidak teruji dengan benar-benar
tajam. Entah karena pengaruh kisi-kisi soal debat yang diberikan oleh KPU
kepada capres dan cawapres sehingga kedua paslon mempersiapkan jawaban terlebih
dahulu yang kemudian terlalu menjadi patokan dan berkesan jawaban-jawaban yang
keluar selama jalannya perdebatan kesannya seperti menghafal jawaban bukan
memberikan gagasan yang bersifat paradigmatik.
Dalam hal ini KPU tentunya menjadi sorotan sebagai
pengendali utama terkait pelaksanaan debat capres dan cawapres. Tidak sedikit
orang mengkritisi keputusan KPU yang memberikan kisi-kisi debat kepada calon
presiden dan wakil presiden, baik dari kalangan politisi atau masyarakat.
Karena seolah-olah dengan diberikan kisi-kisi tersebut seperti meragukan
kualitas wawasan kebangsaan calon presiden dan wakil presiden. Menurut saya
dengan diberikannya kisi-kisi soal debat, hal itu justru tidak akan bisa
menguji dengan benar-benar tajam wawasan kebangsaan calon presiden dan wakil
presiden. Kesannya seperti anak SMA yang akan ujian akhir sekolah kemudian
diberikan kisi-kisi oleh gurunya lalu kemudian disiapkan jawabannya lalu
dijadikan contekan ketika ujian berlangsung. Kurang lebih seperti itu dan jelas
wawasan kebangsaan calon presiden dan wakil presiden saat ini masih kita
ragukan karena tidak teruji dengan benar-benar tajam.
Masyarakat Semakin Dilematik
Bukan sebuah pencerahan yang diterima oleh masyarakat
pasca debat pertama capres cawapres yang berlangsung 17 Januari lalu. Tetapi
sebuah dilema besar yang kemudian berujung pada sebuah pertanyaan siapa yang
akan saya pilih. Iya kalau dilema yang muncul karena capres dan cawapres ini
merupakan calon yang sama-sama kuat dan wawasan kebangsaannya tidak perlu
diragukan lagi, itu hal yang baik dan mampu mencerdaskan masyarakat.
Namun bagaimana jika sebaliknya, tentu itu akan
mengarahkan masyarakat kepada sebuah dilematik yang belum jelas ujungnya ke
paslon 01 atau paslon 02. Dan hal ini kembali akan membawa masyarakat untuk
menilai bukan lagi kualitas wawasan dan pengetahuan tentang kebangsaan calon
presiden tetapi terpaksa menilai pada data-data kuantitatif yang jawabannya
sudah dipersiapkan terlebih dahulu karena memang sudah diberikan kisi-kisi soal
debat. Dan hal tersebut membuat kita tidak bisa menilai secara benar-benar
tajam kedalaman wawasan kebangsaan calon presiden karena sangat jauh dari debat
yang bersifat paradigmatik.
Bahkan bisa saja masyarakat nanti akan banyak yang golput
karena menurut mereka kedua paslon ini wawasan kebangsaannya tidak bisa diukur
secara filosofis dan paradigmatik. Untuk menyudahi dilematik pada masyarakat
tentunya capres cawapres harus mampu menunjukan kualitasnya sebagai seorang
pemimpin negara. Narasi-narasi yang dimunculkan harus bersifat kental dengan
hal-hal fundamental yang menjadi permasalahan utama bangsa ini. Argumentasi
harus mampu diarahkan kepada sebuah perdebatan yang bersifat paradigmatik,
filosofis dan tentu tidak cendrung terlihat seperti mengafal jawaban.
Perdebatan harus bisa memberikan sebuah pencerahan bagi
masyarakat dalam menilai kriteria capres dan cawapres yang akan dipilihnya.
Sehingga masyarakat mampu keluar dari sebuah dilematik yang sedang dihadapinya
melalui penilaian debat capres cawapres yang sudah disaksikannya.
PR Buat KPU
Sebagai pemegang kendali utama tentunya KPU menjadi
sasaran terkait tekhnis-tekhnis jalannya perdebatan bila adanya keritikian dari
berbagai pihak. Tujuan dilakukannya debat capres cawapres adalah untuk menguji
sejauh mana wawasan kebangsaan yang dimiliki capres dan cawapres. Bukan hanya
sekedar menyampaikan visi misi dan menunjukan data-data kuantitatif tetapi
harus mampu menunjukan kualitas keintelektualannya sebagai pemimpin negara.
Jika berani menjadi calon presiden tentunya dia sudah memiliki kapasitas yang
mumpuni terkait dengan kebangsaan.
Untuk itu saya rasa KPU masih punya banyak PR terkait
pengujian kualitas capres dan cawapres. Saya harap KPU tidak tanggung-tanggung
menguji calon presiden dan wakil presiden ini dengan batu uji yang benar-benar
tajam. Sehingga presiden yang terpilih nantinya benar-benar sudah melalui ujian
yang mendalam tentang wawasan kebangsaan. Oleh sebab itu, seharusnya KPU stidak
perlu lagi memberikan kisi-kisi debat karena yang diuji disini bukan anak SMA
yang akan mengahadapi ujian akhir sekolah. Tetapi orang yang di uji disini
adalah calon presiden yang akan memimpin negara.
Tentunya seorang calon presiden yang kemudian berani maju
sebagai calon pastinya sudah dibekali ilmu pengetahuan yang luas tentang
kebangsaan. Jadi KPU seharusnya tidak main-main dalam menguji kapabilitas calon
presiden dan wakil presiden. Harus benar-benar diuji kedalaman wawasan
kebangsaan calon presiden dan wakil presiden salah satunya dengan debat ini
tentunya tetapi dengan pertanyaan-pertanyaan dan pengujian-pengujian yang
benar-benar tajam. Jika benar-benar ingin menguji calon presiden dan wakil
presiden secara benar-benar matang saya rasa debat yang di isi dengan beberapa
pertanyaan yang sudah diberikan kisi-kisinya itu tidak cukup.
Jangan lagi ada kisi-kisi soal debat dan skala debat
harus lebih luas lagi. Kalau perlu langsung di uji di kampus-kampus yang
merupakan kandang ilmu pengetahuan dan langsung berhadapan dengan
mahasiswa-mahasiswa yang akan mengkritis habis-habisan calon presiden dan wakil
presiden ini. Saya rasa kita sepakat bahwa KPU harus memberikan suatu batu uji
yang lebih besar terhadap calon presiden dan wakil presiden agar presiden yang
terpilih nantinya benar-benar memiliki wawasan kebangsaan yang luas dan mampu
mengeluarkan masyarakat dari dilematik yang saat ini sedang dihadapinya.
Penulis : Indrawan Nur Fuadi















