Puisi dan Senja

Senja bukan hanya pertanda hari yang telah usai, ia juga adalah rumah tempat bercerita. Tempat puisi menetap dan sajak paling sunyi di lahirkan.

Opini

Ide itu juga mahkluk hidup, perlu di rawat dan di asah. Menulis adalah salah satu cara paling ideal untuk menjaganya tetap hidup.

Journey

Perjalanan bukan hanya tentang jejak yang tertinggal, tapi ia juga adalah kenangan yang tetap hidup. Setiap orang memiliki caranya masing-masing untuk mengabadikan setiap perjalanan dalam hidupnya. Aku memilih menulis!

Social and Politics

Politik itu akan membunuh jika kita acuh tak acuh terhadapnya, tapi ia akan menjadi peta keadilan sosial jika kita memahaminya dengan baik. Kekuasaan tidak akan berkuasa seenaknya jika setiap mahkluk sosial memiliki peran dan peduli dalam setiap agenda politik. Harmonisasi kehidupan sosial adalah tujuan utama politik. Bukan kekuasaan!

Religion and Culture

Agama dan budaya adalah perpaduan. Beberapa orang sering menganggapnya bertentangan, tetapi agama dan budaya justru menjadi benda paling purba yang melekatkan manusia pada karakteristik dan nilai dalam kehidupan.

Jumat, 20 Desember 2019

Konsep Halal Tourism Bersahabat Dengan Kultur Masyarakat NTB



Salah satu konsep pariwisata yang saat ini dibutuhkan didalam industri pariwisata adalah konsep tentang pariwisata yang ramah lingkungan dan tidak meniggalkan kultur-kultur lokal serta menjaga nilai-nilai keagamaan yang ada pada suatu masyarakat. Hal tersebut dibutuhkan mengingat bahwa kehadiran industri pariwisata sangat kental dengan terjadinya akulturasi budaya. Fenomena tersebut banyak kita temukan dalam kehidupan sosial masyarakat karena pengaruh hadirnya industri pariwisata ini sebagai salah satu penyebabnya. Namun disisi lain kehadiran industri pariwisata sangat menguntungkan bagi suatu daerah, khususnya dalam bidang ekonomi. Hal tersebut bisa kita lihat dari banyaknya investasi yang hadir oleh karena adanya industri pariwisata. Dengan adanya investasi maka secara otomatis pendapatan daerah pun akan meningkat. Tetapi disisi lain pemerintah juga harus mempertimbangkan dampak positif dan dampak negatif yang ditimbulkan oleh kehadiran industri pariwisata dan tidak melihatnya hanya dari segi keuntungan ekonomi saja tentunya, melainkan melihatnya dari sudut pandang dampak sosial yang akan di timbulkan.

Oleh karena itu, seiring dengan hadirnya industri pariwisata yang berkembang dengan sangat pesat pada saat ini maka hal itu harus mampu dimanfaatkan oleh pemerintah. Maka dari itu, hadirnya konsep halal tourism merupakan suatu langkah baik yang telah dilakukan pemerintah, mengingat bahwa industri pariwisata sangatlah berpengaruh terhadap kemajuan suatu negara/daerah. Halal tourism merupakan gagasan yang baik dan sekaligus menjadi jawaban bagi perkembangan industri pariwisata yang sesuai dengan kultur masyarakat Nusa Tenggara Barat (NTB). Sejak 2015 Kementerian Pariwisata Republik Indonesia menunjuk tiga provinsi di Indonesia sebagai destinasi wisata halal. Ketiga provinsi tersebut adalah Nusa Tenggara Barat (NTB), Sumatera Barat, dan Aceh. Dari tiga provinsi tersebut, NTB dipandang memiliki potensi besar untuk mengembangkan wisata halal di Indonesia. Ada tiga alasan mengapa Provinsi NTB memiliki potensi besar dalam mengembangkan wisata halal. Pertama, keindahan alam yang dimiliki oleh NTB tidak kalah dengan yang dimiliki oleh Provinsi Bali. Kedua, mayoritas penduduk NTB adalah muslim. Ketiga, NTB memiliki kultur dan tradisi keagamaan yang unik. Berdasarkan studi tersebut maka pemerintah NTB harus benar-benar mempertimbangkan kebelanjutan dan perkembangan NTB sebagai salah satu destinasi wisata halal di Indonesia.

Pada era pemerintahan NTB sebelumnya yang pada saat itu di pimpin oleh TGB. Muhammad Zainul Majdi. Halal Tourism menjadi fokus dari program pemerintah NTB pada saat itu. Dan dampak positif yang dihasilkan adalah pada tahun 2015 Lombok pernah memenangkan World Halal Travel Awards (WHAT) dalam kategori World Best Halal Tourism Destination dan World Best Halal Honeymoon Destination. Potensi NTB dalam bidang pariwisaa sangat tinggi sekali karena NTB memiliki keindahan alam yang sangat luat biasa. Bukan hanya itu, industri pariwisata juga merupakan salah satu industri yang sangat menjanjikan di dunia saat ini karena industri pariwisata memiliki peluang keuntungan ekonomi yang sangat tinggi, maka dari itu pemerintah perlu memperhatikan potensi pengembangan industri pariwisata di NTB terlebih lagi provinsi Nusa Tenggara Barat sudah dinobatkan sebagai World Best Halal Tourism Destination dan World Best Halal Honeymoon Destination.

Untuk mengembangkan industri pariwisata di NTB bukanlah perkara mudah. Hal ini mengingat bahwa konsep wisata yang selama ini dipahami oleh masyarakat adalah konsep wisata konvensional yang bisa dikatakan tidak memiliki batasan-batasan tertentu bagi wisatawan sehingga potensi terjadinya akulturasi budaya sangat tinggi. Bukan hanya itu, melainkan banyak dampak negatif lainnya yang akan ditimbulkan oleh kehadiran industri pariwisata. Tidak terbatas hanya pada lunturnya nilai-nilai budaya lokal tetapi potensi terbentuknya pola-pola hidup baru yang menyebabkan masyarakat meninggalkan pola-pola hidup lama, tetapi sebenarnya pola-pola hidup baru yang dijalani tersebut tidak sesuai dengan mental kognitif masyarakat. Sehingga yang terjadi adalah rusaknya mental kognitif yang selama ini sudah dibentuk didalam lingkungan tempat dia tinggal sebelumnya. Hal itu karena industri pariwisata menghadirkan beragam sekali pola-pola hidup yang tercampur dari seluruh penjuru dunia, karena yang berkunjung bukan hanya wisatawan lokal saja melainkan wisatawan mancanegara yang datang dari negara-negara yang berbeda.

Maka untuk mewaspadai hal itu, hadirlah konsep halal tourism yang mencoba melindungi masyarakat dari potensi timbulnya dampak negatif dari kehadiran industri pariwisata. Halal Tourism merupakan jawaban untuk mengantisipasi hal-hal semacam itu terjadi pada masyarakat, maka dari itu perlu adanya edukasi yang tinggi pada masyarakat mengenai apa itu yang dimaksud dengan konsep halal tourism. Banyak masyarakat yang masih keliru memahami konsep halal tourism yang sebenarnya. Seperti yang dikatakan oleh gubernur NTB saat ini Dr. Zulkieflimansyah bahwa masih banyak terjadi kesalahpahaman tentang konsep wisata halal ditengah masyarakat. Menurutnya, halal tourism tidak boleh direduksi maknanya hanya sebatas halal tourism saja. Namun konsep halal tourism akan disempurnakan dengan inovasi-inovasi yang memungkinkan semua orang aman, tentram dan menyenangkan ketika menikmati keindahan alam NTB. Banyak yang menyangka bahwa dengan adanya halal tourism kemudian orang tidak boleh lagi berenang. Sehingga cerita menakutkan ini mematahkan semangat halal tourism, untuk itu harus diluruskan. Papar Gubernur NTB tersebut, di acara the internasional halal tourism conference, di Mataram, Juma’at (11/10/2019).

Konsep wisata halal yang sebenarnya dimaksudkan adalah lebih pada penyediaan makanan yang sehat dan halal, termasuk penyediaan kelengkapan fasilitas penunjang ibadah, bukan pada objeknya saja. Mengingat bahwa banyak juga wisatawan yang beribur ke NTB dari Timur Tengah, termasuk sejumlah negara lain yang mayoritas muslim. Maka potensi tersebut harus mampu digarap. Selain itu konsep halal tourism ini sangat bersahabat dengan kultur masyarakat NTB mengingat NTB ini dihuni oleh masyarakat yang mayoritas muslim. Menurut pemikiran Pierre Bourdieu dalam teorinya tentang habitus, dijelaskan bahwa untuk menghadapi kehidupan sosial budaya masyarakat memiliki habitus (kebiasaan). Habitus yang dimaksud ialah “struktur mental kognitif” yang digunakan aktor untuk menghadapi kehidupan sosial budaya. Atau juga serangkaian skema-skema dan pola-pola yang di internalisasikan dan digunakan masyarakat untuk merasakan, memahami, menyadari dan menilai dunia sosial.

Kehadiran industri pariwisata ini sangat memungkinkan untuk mengubah habitus (kebiasaan-kebiasaan) yang sudah terbentuk pada masyarakat NTB, karena industri pariwisata sangat berpotensi dengan terjadinya campur aduk kultur dan terbentuknya pola-pola hidup baru yang secara mental sebenarnya belum siap dihadapi oleh masyarakat NTB. Maka dari itu, jika kita melihat konsep yang sebenarnya dari halal tourism, hal itu sangat bersahabat sekali dengan habitus/kultur masyarakat NTB seperti penyediaan sarana dan prasarana untuk beribadah, penyediaan makanan sehat dan halal,  tingkat kegiatan non-halal di hotel rendah dan berbagai hal lainnya yang sesuai dengan kultur ketimuran atau kultur masyarakat NTB secara khususnya. Sehingga hal-hal yang ditakutkan akan menimbulkan dampak negatif pada masyarakat oleh kehadiran industri pariwisata ini bisa di minimalisir atau diantisipasi, karena konsep yang sebenarnya dari halal tourism ini sangat bersahabat pada kultur, adat istiadat, dan nilai-nilai keagamaan yang selama ini berkembang pada masyarakat. Maka dari itu, perlu adanya edukasi yang lebih mendalam terkait dengan konsep halal tourism yang sebenarnya, supaya masyarakat tidak salah paham mengartikan halal tourism hanya sebatas wisata yang diislamkan atau disyariahkan saja. Melainkan bahwa halal tourism merupakan konsep wisata yang melindungi kultur-kultur lokal masyarakat, nilai-nilai keagamaan yang selama ini berkembang dimasyarakat, serta menjaga pola kehidupan masyarakat yang selama ini berkembang sesuai dengan mental kognitif masyarakat Nusa Tenggara Barat (NTB).



Penulis : Indrawan Nur Fuadi

Jumat, 30 Agustus 2019

Penyebab Perkawinan Dini di NTB Di Tinjau Dari Pengaruh Kultur dan Adat Istiadat

Pekwaninan usia muda atau yang biasa disebut dengan pernikahan dini bukanlah merupakan permasalahan yang baru-baru muncul dimasyarakat NTB. Hal tersebut sudah menjadi momok yang bisa dikatakan sudah mendegradasi norma dan aturan undang-undang tentang usia pernikahan. Bukan menjadi permasalahan baru yang harus di antisipasi lagi melainkan hal tersebut merupakan permasalahan yang sudah ada sejak lama dan belum juga terselesaikan. Tercatat pada tahun 2018 ada sekitar 4.5% anak-anak yang menikah dibawah usia 15 tahun. Hal tersebut tentu menjadi PR bagi pemerintah NTB yang sekarang untuk mengantisipasi terjadinya pernikawinan dini yang lebih tinggi serta menyelesaikan juga permasalahan tentang pernikahan yang sudah ada. Pernikahan dini banyak sekali membawa efek negatif, baik itu terhadap lingkungan sosial ataupun terhadap dirinya sendiri. Efek negatif yang ditimbulkn oleh pernikahan dini bisa berupa salah satunya seperti menimbulkan depresi berat. Usia yang belum matang tentunya belum mampu menerima semua permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan rumah tangga, tidak hanya membawa efek negatif untuk dirinya sendiri tetapi juga orang lain yang ada disekitarnya. Selain itu hal yang akan rentan terjadi ialah perceraian. Hal itu disebabkan oleh usia yang belum matang dan belum mampu menyikapi segala sesuatu dengan lebih dewasa.

Masih banyak lagi hal-hal negatif yang muncul dari permasalahan pernikahan dini seperti putusnya pendidikan, kekerasan dalam rumah tangga, kesulitan ekonomi yang kemudian membuat anaknya menjadi terlantar, dan munculnya pekerja dibawah umur. Itu merupakan efek negatif yang disebabkan oleh pernikahan dini terhadap lingkungan sekitaranya. Belum lagi kita melihat efek negatif yang didapatkan oleh pelaku pernikahan dini itu sendiri, bisa sangat berbahaya untuk kesehatan fisiknya. Hal-hal yang kemungkinan besar terjadi pada anak yang menikah diusia muda ialah dapat menyebabkan terjadinya tekanan darah yang tinggi. Hamil di usia sangat muda memiliki risiko yang tinggi terhadap naiknya tekanan darah. Seseorang bisa saja menderita preeklampsia, yang ditandai dengan tekanan darah tinggi, adanya protein dalam urin, dan tanda kerusakan organ lainnya.

Pengobatan harus dilakukan untuk mengontrol tekanan darah dan mencegah komplikasi, tetapi secara bersamaan hal ini juga dapat mengganggu pertumbuhan bayi dalam kandungan. Hamil di usia remaja juga dapat menyebabkan anemia saat kehamilan. Anemia ini disebabkan karena kurangnya zat besi yang dikonsumsi oleh ibu hamil. Itu sebabnya, untuk mencegah hal ini, ibu hamil dianjurkan untuk rutin mengonsumsi tablet tambah darah setidaknya 90 tablet selama masa kehamilan. Anemia saat hamil dapat meningkatkan risiko bayi lahir prematur dan kesulitan saat melahirkan. Anemia yang sangat parah saat kehamilan juga dapat berdampak pada perkembangan bayi dalam kandungan. Jika kita menyadari hal itu tentu pernikahan dini merupakan hal yang berisiko untuk dilakukan, baik itu untuk kesehatan diri maupun dampaknya terhadap lingkungan. Untuk itu, pemerintah sangat perlu melakukan hal-hal positif yang dapat membantu mengurangi sekaligus mencegah kasus-kasus pernikahan dini di NTB terjadi lagi.

Namun berbicara tentang pernikahan dini tentu tidak lengkap rasanya jika kita meninjaunya dari segi kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan saja. Pembahasan tentang gender memang selalu menjadi pembahasan yang menarik untuk dikaji. Bahkan sampai saat ini belum bisa dikatakan bahwa pembahasan tentang gender merupakan sesuatu pembahasan yang sudah final untuk didiskusikan. Permasalahan ini sudah ada sejak zaman dahulu dimana hak-hak kaum perempuan sangat dibatasi bahkan di diskriminasi. Tidak hanya tentang kesehatan tetapi banyak hal yang berkaitan dengan keperempuanan selalu dibatasi kebebasannya bahkan untuk berpendapat sekalipun. Sebelum jauh berbicara tentang gender kita coba menyikapi hal-hal yang sudah terjadi dimasa lampau tentang gender dan batas-batas hak perempuan. Secara kultur atau sesuatu yang terbentuk dari kebiasaan masyarakat, Indonesia secara umumnya dan wilayah Nusa Tenggara Barat ini pada khususnya telah muncul sebuah stereotype yang mangatakan dan membatasi bahwa kaum perempuan hanya boleh melakukan hal-hal yang sudah dilabelkan pada perempuan tersebut. Seperti memasak, mencuci, mengurusi anak, dan semua pekerjaan yang ada didalam rumah.

Awal mulanya hal ini disebabkan oleh label yang diberikan masyarakat kepada perempuan yang muncul dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat dan kemudian hal itu menjadi sebuah kultur. Hal ini tentu menjadi sebuah ketidakadilan gender jika kagiatan perempuan dibatasi berdasarkan stereotype tersebut. Namun hal ini banyak tidak disadari oleh masyarakat secara luas karena hal tersebut dalam anggapan mereka merupakan sesuatu yang rumlah dan hal yang sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat. Dalam hal pendidikan pun demikian, stereotype yang muncul dimasyarakat ialah perempuan itu tugasnya hanya didapur dan mengurusi semua urusan rumah sehingga perempuan tidak diharuskan untuk memiliki pendidikan yang tinggi layaknya seorang laki-laki karena ujungnya akan kembali ke dapur juga. Demikianlah stereotype yang muncul didalam masyarakat tentang perempuan yang selama ini tidak disadari oleh masyarakat secara luas. Oleh karena itu tulisan ini mengarahkan kita kepada sebuah pemikiran baru dan sadar bahwa perempuan seharusnya memiliki kebebasan yang sama dengan laki-laki.

Namun saat ini kasus-kasus pernikahan dini tidak cukup lagi jika kita analisa hanya dari perpektif ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Karena dizaman modern seperti sekarang ini dimana perkembangan ilmu pengetahuan mengalami kemajuan yang sangat pesat sehingga ketidaksetaraan gender bisa tertutupi oleh ilmu pengetahuan yang sudah sangat maju. Karena tidak ada lagi batas-batasan antara laki-laki dan perempuan. Jika kita mencoba menelaah secara lebih mendalam pengaruh yang lebih kental terhadap banyaknya kasus pernikahan dini di NTB ini ialah karena adat istiadat dan kultur pada masyarakat. Hal inilah yang kemudian memberikan kemudahan pada masyarakat untuk melakukan pernikahan dini. Bukan berarti kita menafikan budaya yang sudah berkembang pada masyarakat tetapi dalam dunia pendidikan tentu kiranya kita harus mengkaji sisi baik dan dan sisi buruk dari kehidupan sosial masyarakat dan termasuk juga didalamnya kebudayaan masyarakat.

Berdasarkan data BKKBN NTB, 56,7 persen pasangan usia subur menikah pada usia di bawah 21 tahun. “Terdapat juga anak-anak kita yang menikah di bawah usia 15 tahun. Itu sekitar 4,5 persen,” ujar Makrifuddin. Dikatakannya, pasangan menikah di bawah umur di NTB paling banyak terjadi di kabupaten Lombok Timur, kemudian Lombok Utara. (HarianNusa.com 03/05/2019). Hal ini yang kemudian harus kita telaah secara lebih mendalam karena penyumbang pernikahan dini di NTB ini berasal pulau Lombok. Dalam hal ini kita mengetahui bahwa Lombok mempunyai kultur yang disebut dengan merarik. Merarik merupakan adat atau budaya yang berkembang pada masyarakat jika seseorang ingin segera menikah. Hal tersebut dilakukan dengan cara calon mempelai laki-laki mencuri calon mempelai perempuan yang kemudian dibawa ke suatu tempat dan memberi tahu orang tua calon mempelai perempuan dia akan menikahi putrinya.

Kemudian jika kita analisa justru dari budaya yang berkembang tersebut seolah pernikahan menjadi hal yang sangat mudah untuk dilakukan. Karena tidak perlu meminta izin secara langsung dan melalui proses yang panjang untuk menikahi mempelai perempuan kepada orang tuanya. Cukup hanya pada kesepakatan kedua calon pengantin saja pernikahan akan dapat dilakukan dengan cara mencuri si calon mempelai perempuan setelah itu baru calon mempelai pria mengatakan bahwa dia ingin menikahi si mempelai perempuan kepada orang tuanya. Dan orang tua perempuan tidak bisa menolak karena didalam kultur masyarakat jika perempuan sudah dicuri maka harus dinikahi. Dan tidak perlu lagi melakukan hal-hal yang cukup panjang seperti mempelai laki-laki dan keluarganya mendatangi calon mempelai perempuan kemudian melakukan pelamaran terhadap calon mempelai perempuan. Tentu jika seperti itu sebuah pernikahan tidak akan serta merta menjadi hal yang gampang untuk dilakukan.

Saya rasa karena pengaruh budaya yang berkembang pada masyarakatlah yang menjadi penyebab utama terjadinya kasus-kasus pernikahan dini di NTB. Sehingga pernikahan dini ini menjadi momok yang sangat sulit untuk diatasi oleh pemerintah. Untuk itu, perlu adanya peran pemerintah untuk mencerdaskan masyarakat agar sadar bahwa pernikahan dini merupakan sesuatu yang dapat menyebabkan masalah lingkungan  dan juga dapat menyebabkan masalah pada kesehatan fisik dari pelaku pernikahan dini itu sendiri. Pemerintah harus melakukan pencerdasan budaya kepada masyarakat agar budaya yang sudah berkembang harus tetap disesuaikan dengan norma dan aturan yang sudah ada terkait batas usia minimal pernikahan. Selain itu masyarakat juga harus mampu melihat sisi-sisi negatif yang akan muncul akibat dari pernikahan dini tersebut. Karena dengan melihat efek-efek nagaitf yang ditimbulkan, masyarakat akan membuat suatu pertimbangan yang sangat berat untuk melakukan pernikahan dengan usia yang sangat muda. Biar bagaimana pun budaya merupakan warisan yang harus tetap dijaga dan dilestarikan dalam kehidupan sosial masyarakat, tetapi perlu dipertimbangkan juga hal-hal negatif akan muncul dari budaya yang berkembang pada masyarakat. Budaya tidak harus di hilangkan tetapi harus dijaga dan harus mampu disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahun.


Penulis : Indrawan Nur Fuadi

Jumat, 24 Mei 2019

People Power : Ekspresi Ketidaksiapan Berdemokrasi


Pemilihan presiden tahun ini masih meninggalkan perdebatan panjang yang tak kunjung usai. Pasca pemilihan 17 April lalu bukannya menimbulkan kesejukan bagi masyarakat tetapi sebaliknya, muncul isu-isu baru yang membuat masyarakat kian dilematik dan bahkan terpropokasi. Sebelumnya masyarakat sudah disuguhkan dengan berbagai isu-isu yang tidak mendidik dan menimbulkan perpecahan pada masyarakat. Dan sekarang masyarakat disuguhkan lagi dengan isu-isu yang berpotensi akan menimbulkan kegaduhan terhadap kesatuan bangsa. Penyakit apa yang sebenarnya sedang melanda para elite politik negeri ini?

Isu yang kembali muncul ialah wacana “People Power” yang digaungkan oleh Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais yang menyebut akan melakukan people power jika pemilu 2019 penuh kecurangan. Pernyataan tersebut tentunya menimbulkan pro kontra pada masyarakat, juga pada para elit politik negeri ini. Jika kita merujuk pada konstitusi dan hukum tentunya gerakan people power ini tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak memiliki landasan yang kuat. Mengapa demikian, karena dalam sejarah bangsa Indonesia people power dilakukan akibat dari pemeritahan yang otoriter dan tidak memihak rakyat. Seperti yang terjadi pada masa orde baru dipemerintahan Soeharto. Kala itu pemerintahan yang dipimpin oleh Soeharto sangat otoriter, masyarakat tidak bebas berbicara, semuanya dibatasi. Sehingga muncullah gerakan Mahasiswa 1998 yang menumbangkan rezim Soeharto. Tidak sesuai kemudian jika people power dilakukan saat ini hanya karena tuduhan kecurangan pemilu, yang seharusnya permasalahan itu jika memang terbukti bisa diselesaikan melalui jalur konstitusi dan hukum.

Indonesia sudah melalui perjalan demokrasi yang cukup panjang dan hasil pemilu merupakan suara rakyat yang juga harus dihormati. Gerakan people power apakah iya mewakili semua suara hati rakyat Indonesia? Tentu tidak. Lantas untuk apa melakukan aksi yang menimbulkan pro kontra pada masyarakat, yang membuat masyarakat kian terpecah belah, yang membuat masyarakat terpropokasi dan menimbulkan hal-hal negatif lainnya. Melakukan people power hanya karena alasan kecurangan pemilu adalah sesuatu yang cukup naïf karena hal tersebut sangat kental dengan nuansa politis yang sebenarnya dilandasi oleh kepentingan tertentu dan hal itu juga menunjukkan bahwa sebenarnya kita tidak siap menerima hasil demokrasi. Berapa banyak suara rakyat yang terabaikan jika hal tersebut hanya diputuskan oleh kelompok tertentu yang kemudian memunculkan wacana seolah-olah adanya pertarungan antara rakyat dan konstitusi. Dan hal itulah yang harus diwaspadai agar tidak menimbulkan konflik, dan jangan sampai kita sebagai Negara demokrasi malah menunjukkan eskpresi-ekspresi ketidaksiapan berdemokrasi.

Saya ingin sedikit mengkaitkan dengan pemikiran Ralf Dahrendorf dengan teorinya “Struktural Konflik” yang menjelaskan bagaimana struktur memiliki konflik. Asumsi dasar teori ini ialah bahwa setiap struktur di dalam masyarakat memiliki elemen-elemen yang berbeda. Elemen-elemen yang berbeda tersebut memiliki motif, maksud, kepentingan atau tujuan yang berbeda. Perbedaan tujuan dan kepentingan tersebutlah yang kemudian memberikan sumbangan bagi terjadinya disintegrasi, konflik dan perpecahan. Pertanyaan yang kemudian muncul ialah apakah gerakan people power ini merupakan bentuk kedaulatan rakyat? Atau bentuk kepentingan yang memiliki maksud dan tujuan tertentu?

Jika hal tersebut merupakan bentuk kadaulatan rakyat atau bentuk penyampaian suara hati rakyat apakah bisa dipastikan gerakan people power tersebut merupaka suara dari seluruh rakyat Indonesia? Saya rasa tidak. Itulah mengapa gerakan people power ini sebenarnya merupakan bentuk penolakan hasil demokrasi, karena sangat kental dengan nuansa politis yang berujung pada kepentingan kelompok bukan pada kepentingan rakyat. People power yang sebenarnya sudah dilakukan pada saat 17 April lalu dan tidak perlu lagi ada gerakan people power apalagi hanya karena tuduhan kecurangan pemilu yang dimana permasalahan itu bisa diselesaikan melalu konstitusi dan aturan hukum yang berlaku jika memang hal itu benar-benar terbukti. Saya rasa masyarakat juga sudah bosan dengan kegaduhan yang ada dinegeri ini.

Merujuk lagi dari teori Ralf Dahredorf tersebut jika saya coba menafsirkan bahwa sebenarnya gerakan people power ini merupakan perbedaan kepentingan dan tujuan yang mengatasnamakan kedaulatan rakyat. Mengapa demikian, karena tidak semua masyarakat sepakat dengan hal itu. Hal inilah yang kemudian sangat berbahaya bagi kesatuan bangsa, adanya perbedaan kepentingan dan tujuan yang kemudian diberi topeng dengan dalih atas nama rakyat tetapi sebenarnya itu adalah kepentingan beberapa kelompok saja. Dan hal tersebut sangat berpotensi menyebabkan disintegrasi dan akan menimbulkan konflik pada masyarakat.

Untuk itu kita sebagai masyarakat biasa harus cerdas dalam menyikapi segala bentuk gejolak yang ada dinegeri ini. Setiap orang atau setiap kelompok pasti memiliki motif, maksud, kepentingan dan tujuan masing-masing, tetapi kita harus mampu melihat apakah kepentingan tersebut adalah untuk kemaslahatan atau tidak. Masyarakat harus cerdas dalam menilai hal tersebut. Pada perinsipnya ialah Negara kita adalah Negara demokrasi yang harus menghargai suara rakyat Indonesia dari sabang sampai marauke. Maka tindakan-tindakan yang bernada melawan konstitusi harus kita hilangkan dan jika memang harus melawan maka suara seluruh rakyat Indonesia harus dilibatkan terlebih dahulu. Jangan sampai kita menunjukan tindakan yang tidak bersifat demokratis.

Maka dari itu, untuk membangun Indonesia tidak bisa jika masih ada kepentingan yang bertopengkan atas nama rakyat Indonesia yang kita munculkan. Demokrasi adalah musyarawarah terbesar bangsa ini, menjadi tugas dan kewajiban kita untuk membuatnya tetap utuh.


Penulis : Indrawan Nur Fuadi

Jumat, 10 Mei 2019

Politik Sebagai Ajang Kontestasi Untuk Kepentingan Organisasi


Tidak diragukan lagi bahwa organisasi merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan sosial masyarakat. Menurut Ibn Khaldun manusia diciptakan sebagai makhluk politik atau sosial, yaitu makhluk yang selalu membutuhkan orang lain dalam mempertahankan kehidupannya, sehingga kehidupannya dengan masyarakat dan organisasi sosial merupakan sebuah keharusan (dharury). Murujuk dari pendapat Ibn Khaldun tersebut semakin memperkuat bahwa organisasi sosial merupakan sebuah keharusan dan menjadi sesuatu yang sangat penting serta dibutuhkan oleh masyarakat.

Di Indonesia sendiri terdapat begitu banyak organisasi sosial kemasyarakatan yang hadir dan eksistensinya cukup masyhur dimata masyarakat Indonesia secara umum. Di Pulau Jawa misalnya, ada Nahdlatul Ulama’ sebuah organisasi sosial kemasyarakatan yang sangat besar dan terkenal di Indonesia, serta memiliki kader yang sangat banyak bukan hanya dari pulau Jawa saja tetapi tersebar ke seluruh penjuru Indonesia. Kemudian ada Muhammadiyyah, salah satu organisasi yang sangat besar juga yang ada di Indonesia yang massa kadernya tidak jauh berbeda dari jumlah kader Nahldatul Ulama’.

Di NTB sendiri atau di Lombok ini pada khususnya pun memiliki sebuah organisasi sosial kemasyarakatan yang bernama Nahdlatul Wathan yang didirikan oleh Maulana Syeikh Muhammad Zainuddin Abdul Majid atau yang sekarang ini di kenal sebagai pahlawan nasional satu-satunya berasal dari Nusa Tenggara Barat. Jumlah kadernya pun tidak jauh berbeda dengan Nahdlatul Ulama’ dan Muhammadiyyah meskipun Nahdlatul Wathan tidak lah sebesar Nahdlatul Ulama’ dan Muhammadiyyah. Namun eksistensinya juga cukup di kenal oleh masyarakat Indonesia secara umum.

Dan ada banyak lagi organisasi sosial kemasyarakatan yang ada di Indonesia yang eksistensinya pun juga tidak kalah dengan organisasi-organisasi yang saya sebutkan tadi. Menjadi sebuah keharusan memang bagi masyarakat untuk membuat sebuah wadah perjuangan bagi kelompoknya untuk memberikan yang terbaik kepada masyarakat, bangsa dan Negara. Hal inilah yang kemudian menjadikan organisasi sosial kemasyarakatan menjadi sangat lekat dengan nuansa politik. Karena tidak bisa kita nafikan memang dalam kondisi sosial kemasayarakatan sekarang ini, menjadikan politik sebagai alat untuk membangkitkan identitas organisasi adalah solusi yang dianggap paling tepat.

Masyarakat dipaksa untuk membuka mata selebar mungkin untuk melihat celah yang paling memberikan peluang untuk mengangkat identitas organisasinya masing-masing. Hal tersebut kemudian menjadi kempetisi yang sangat kental dengan nilai-nilai persaingan karena setiap kelompok masyarakat memperjuangkan identitas oganisasinya sendiri melalui jalur politik dan kekuasaan. Dan saya rasa hal itulah yang sekarang ini terjadi, yaitu menjadikan politik sebagai jalur yang paling memungkinkan untuk membangun kekuatan kelompok organisasi.

Hal demikian memang bukanlah merupakan sesuatu yang bersifat negatif, karena hal tersebut sesuai dengan naluri manusia yang selalu menginginkan yang terbaik didalam hidupnya begitu juga dengan kelompoknya. Sesuai juga dengan ayat didalam Al-Qur’an surah Al-Baqoroh ayat 148 yang artinya :“Berlomba-lomba dalam kebaikan”. Namun dalam konteks kehidupan sosial segala sesuatu harus ditafsirkan tidak hanya pada tampaknya saja, melainkan selalu ada tafsiran di belakang dari apa yang tampak oleh panca indera kita. Itulah sebabnya kita harus jeli dalam melihat segala fenomena yang ada dalam kehidupan sosial kita sehari-hari.

Harnold D. Lasswell (1936) : “Politik merupakan siapa yang mendapatkan apa, kapan dan bagaimana”.

Politik pada dasarnya memiliki tujuan kemaslahatan. Dalam pelaksanaannya, politik diibaratkan sebagai sebuah bongkahan batu dan manusia merupakan pelaku untuk memoles bongkahan batu tersebut.(Aristoteles, seorang filuf yunani). Namun tidak jarang juga politik digunakan sebagai alat untuk memenuhi kepentingan diri sendiri, baik itu kelompok organisasi maupun kelompok masyarakat dari daerahnya masing-masing. Oleh karena itu hal demikianlah yang membuat politik itu seperti yang dikatakan oleh Harnold D. Lasswell siapa yang mendaptkan apa, kapan dan bagaimana. Tidak mengerankan kemudian muncul statement-statement dari masyarakat yang mengatakan bahwa politik itu merupakan racun dan sangat kotor.

Di sisi lain kita melihat pertarungan yang muncul dikancah politik sekarang ini kental dengan persaingan antara organisasi satu dengan organisasi yang lainnya. Dalam pandangan yang positif hal itu merupakan sesuatu yang biasa karena sesuai dengan naluri kemanusiaan. Namun disisi lain juga kita harus memperhatikan hal-hal yang kemudian muncul dari keikutsertaan oganisasi kemasyarakatan dalam dunia politik. Jika ingin membangun masyarakat ataupun membimbing masyarakat saya rasa oganisasi sosial kemasyarakatan ataupun elit-elit dari sebuah organisasi sosial kemasyarakatan tersebut tidak harus terjun ke dalam dunia politik.

Bukan menjadi hal yang tidak baik, namun pertimbangan yang akan muncul ialah karena kita membawa identitas tertentu dalam dunia perpolitikan akan membuat kita berpikir bagaimana cara kita mengembangkan kelompok kita sendiri terlebih dahulu daripada kemaslahatan masyarakat secara luas. Hal ini sesuai dengan yang di katakana Lasswell siapa yang mendapatkan apa, kapan dan bagaimana. Siapa yang berkuasa maka dia sudah tau apa yang akan didapatkan dari kekuasaannya, kapan dan bagaimana cara mendapatkannya. Tidak heran kemudian setiap kali ada kontestasi politik selalu terjadi polarisasi-polarisasi dalam masyarakat, bukan menyatukan melainkan membuat masyarakat menjadi terkelompok-kelompokkan sesuai dengan kepentingan masing-masing.

Sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia tentu hal demikian akan berdampak tidak baik bagi kesatuan negera dan persaudaraan masyarakat. Politik tidak lagi menjadi sebuah jalan yang memiliki tujuan untuk kemaslahatan tetapi menjadi tujuan untuk kepentingan-kepentingan identitas, sesuai dengan identitas kelompok masing-masing. Dan hal ini memang harus di sadari oleh masyarakat Indonesia karena kemaslahatan untuk umat secara luas jauh lebih penting dari pada mengedepankan kepentingan identitas apalagi kepentingan pribadi yang nanti akan sangat berpotensi memunculkan polarisasi dalam masyarakat setiap kali adanya kontestasi politik.

Ibn Khaldun dalam bukunya Muqaddimah mengatakan bahwa masyarakat harus memiliki Ashobiyyah untuk mempertahankan kesatuan dan kekuatan negaranya. Ashobiyyah yang dimaksud ialah solidaritas yang secara kolektif kokoh dan kuat. Ketika solidaritas secara kolektif itu kuat maka kesatuan negara akan semakin kuat, namun ketika solidaritas secara kolektif itu lemah maka negara secara perlahan akan menemui titik kehancurannya.

Tentunya menjadi suatu teguran keras bagi kita sebagai satu kesatuan masyarakat dalam bingkai yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia ketika membaca dan mengkaji apa yang dikatakan Ibn khaldun dalam teorinya tentang “Ashobiyyah” tersebut. Dan menjadi tugas yang sangat penting bagi kita untuk lebih cerdas lagi dalam menghadapi gejolak politik yang terkadang membuat kita menjadi baik dan tak jarang juga membuat kita menjadi sesat.

Kontestasi politik 2019 ini sangat kental dengan tragedi polarisasi umat yang begitu massif. Hal ini yang kemudian membuat Ashobiyyah kita sebagai satu kesatuan masyarakat kian tidak terlihat bahkan mungkin hilang. Dan menjadi suatu kehawatiran besar bahwa hal ini akan membuat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai ini akan terpecah belah dan segera menuju ambang keruntuhannya. Untuk itu, sebagai satu kesatuan kita harus memiliki Ashobiyyah atau solidaritas secara kolektif yang kuat dan menghilangkan segala bentuk polarisasi umat agar negara kita ini memiliki pertahanan yang kuat dengan Ashobiyyah yang kuat pada masyarakatnya.

Menjaga persaudaraan dan kesatuan itu memang menjadi sebuah keharusan bagi kita sebagai warga negara. Dan ini tentunya menjadi tugas kita bersama untuk terus saling mengingatkan bahwa asset terbesar yang dimiliki bangsa ini adalah persaudaraan. Analisis saya mengatakan polarisasi massa yang sangat kuat dalam kontestasi politik sekarang ini ialah karena adanya hasrat yang membawa kita berkompetisi untuk membangun identitas masing-masing atau membangun identitas kelompok organisasi kita masing-masing. Sehingga hal demikian lah yang membuat polarisasi-polarisasi muncul didalam tatanan sosial kemasyarakatan. Dan hal ini pula yang membuat Ashobiyyah kita sebagai satu kesatuan kian luntur, karena adanya kepentingan identitas untuk membangun negeri.

Untuk itu menjadi suatu tugas yang sangat besar bagi kita semua, bahwa dalam membangun sebuah kesolidan, kesatuan dan katahanan negara yang kuat maka kita harus memiliki solidaritas secara kolektif yang kuat pula. Selalu menjaga persaudaraan, hentikan polariasasi yang begitu massif pada masyarakat, hentikan perkataan yang saling menghujat dan menghina serta segala bentuk sesuatu yang dapat merusak Ashobiyyah kita sebagai satu kesatuan. Dan mari kita bangun negara kita tercinta ini dengan solidaritas dan persaudaraan.

“Membangun Indonesia tidak akan bisa jika masih ada kepentingan Identitas yang kita hadirkan”.



Penulis : Indrawan Nur Fuadi

Jumat, 18 Januari 2019

Debat Pertama, Wawasan Kebangsaan Capres Cawapres Tidak Teruji

Pemilhan presiden tahun 2019 ini memang menjadi tahun pilpres yang sangat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Bisa dikatakan pilpres tahun ini adalah pilpres yang paling unik dengan segala sensasi yang dibuatnya. Berbagai macam isu-isu bermunculan yang kemudian menjadi pembicaraan hangat para politisi. Baru saja kita sama-sama menyaksikan debat pertama capres dan cawapres tahun 2019 yang diselenggarakan secara terbuka oleh KPU. Masyarakat dengan sangat terbuka dan bebas menyaksikan jalannya perdebatan capres dan cawapres itu.

Dengan adanya debat capres cawapres ini tentu sangat memudahkan masyarakat dalam menilai kriteria calon presiden dan wakil presiden yang akan dipilihnya. Perdebatan adalah salah satu batu uji yang sangat efektif dalam menilai kualitas calon presiden yang akan kita pilih, karena melalui perdebatan ini kita mampu menilai sejauh mana kedalaman narasi calon presiden dalam melihat permasalahan negara dengan cara yang benar-benar fundamental. Dalam hal ini calon presiden tentunya dituntut untuk memiliki wawasan kebangsaan yang luas dan mendalam.

Namun setelah menyaksikan debat pertama capres cawapres dengan tema Hukum, HAM, Korupsi dan Terorisme, wawasan kebangsaan capres cawapres saya rasa perlu dipertanyakan. Kita mampu menilai bahwa dalam hal ini wawasan kebangsaan capres cawapres harus di uji dengan lebih tajam lagi. Saya rasa banyak yang sepakat bahwa debat yang berlangsung pada 17 Januari 2019 itu berjalan dengan sangat tidak menarik. Wawasan kebangsaan capres cawapres belum teruji dengan benar-benar tajam. Semua itu terlihat dari hal-hal yang menjadi argumentasi utama adalah data-data kuantitatif yang lebih bersifat mengarahkan perdebatan ke arah angka-angka dan jauh dari perdebatan yang bersifat paradigmatik.

Hal-hal yang lebih bersifat filosofis dan fundamental terkait tema debat tidak kita saksikan selama jalannya perdebatan. Jelas dalam hal ini wawasan kebangsaan capres cawapres tidak teruji dengan benar-benar tajam. Entah karena pengaruh kisi-kisi soal debat yang diberikan oleh KPU kepada capres dan cawapres sehingga kedua paslon mempersiapkan jawaban terlebih dahulu yang kemudian terlalu menjadi patokan dan berkesan jawaban-jawaban yang keluar selama jalannya perdebatan kesannya seperti menghafal jawaban bukan memberikan gagasan yang bersifat paradigmatik.

Dalam hal ini KPU tentunya menjadi sorotan sebagai pengendali utama terkait pelaksanaan debat capres dan cawapres. Tidak sedikit orang mengkritisi keputusan KPU yang memberikan kisi-kisi debat kepada calon presiden dan wakil presiden, baik dari kalangan politisi atau masyarakat. Karena seolah-olah dengan diberikan kisi-kisi tersebut seperti meragukan kualitas wawasan kebangsaan calon presiden dan wakil presiden. Menurut saya dengan diberikannya kisi-kisi soal debat, hal itu justru tidak akan bisa menguji dengan benar-benar tajam wawasan kebangsaan calon presiden dan wakil presiden. Kesannya seperti anak SMA yang akan ujian akhir sekolah kemudian diberikan kisi-kisi oleh gurunya lalu kemudian disiapkan jawabannya lalu dijadikan contekan ketika ujian berlangsung. Kurang lebih seperti itu dan jelas wawasan kebangsaan calon presiden dan wakil presiden saat ini masih kita ragukan karena tidak teruji dengan benar-benar tajam.

Masyarakat Semakin Dilematik

Bukan sebuah pencerahan yang diterima oleh masyarakat pasca debat pertama capres cawapres yang berlangsung 17 Januari lalu. Tetapi sebuah dilema besar yang kemudian berujung pada sebuah pertanyaan siapa yang akan saya pilih. Iya kalau dilema yang muncul karena capres dan cawapres ini merupakan calon yang sama-sama kuat dan wawasan kebangsaannya tidak perlu diragukan lagi, itu hal yang baik dan mampu mencerdaskan masyarakat.

Namun bagaimana jika sebaliknya, tentu itu akan mengarahkan masyarakat kepada sebuah dilematik yang belum jelas ujungnya ke paslon 01 atau paslon 02. Dan hal ini kembali akan membawa masyarakat untuk menilai bukan lagi kualitas wawasan dan pengetahuan tentang kebangsaan calon presiden tetapi terpaksa menilai pada data-data kuantitatif yang jawabannya sudah dipersiapkan terlebih dahulu karena memang sudah diberikan kisi-kisi soal debat. Dan hal tersebut membuat kita tidak bisa menilai secara benar-benar tajam kedalaman wawasan kebangsaan calon presiden karena sangat jauh dari debat yang bersifat paradigmatik.

Bahkan bisa saja masyarakat nanti akan banyak yang golput karena menurut mereka kedua paslon ini wawasan kebangsaannya tidak bisa diukur secara filosofis dan paradigmatik. Untuk menyudahi dilematik pada masyarakat tentunya capres cawapres harus mampu menunjukan kualitasnya sebagai seorang pemimpin negara. Narasi-narasi yang dimunculkan harus bersifat kental dengan hal-hal fundamental yang menjadi permasalahan utama bangsa ini. Argumentasi harus mampu diarahkan kepada sebuah perdebatan yang bersifat paradigmatik, filosofis dan tentu tidak cendrung terlihat seperti mengafal jawaban.

Perdebatan harus bisa memberikan sebuah pencerahan bagi masyarakat dalam menilai kriteria capres dan cawapres yang akan dipilihnya. Sehingga masyarakat mampu keluar dari sebuah dilematik yang sedang dihadapinya melalui penilaian debat capres cawapres yang sudah disaksikannya.

PR Buat KPU

Sebagai pemegang kendali utama tentunya KPU menjadi sasaran terkait tekhnis-tekhnis jalannya perdebatan bila adanya keritikian dari berbagai pihak. Tujuan dilakukannya debat capres cawapres adalah untuk menguji sejauh mana wawasan kebangsaan yang dimiliki capres dan cawapres. Bukan hanya sekedar menyampaikan visi misi dan menunjukan data-data kuantitatif tetapi harus mampu menunjukan kualitas keintelektualannya sebagai pemimpin negara. Jika berani menjadi calon presiden tentunya dia sudah memiliki kapasitas yang mumpuni terkait dengan kebangsaan.

Untuk itu saya rasa KPU masih punya banyak PR terkait pengujian kualitas capres dan cawapres. Saya harap KPU tidak tanggung-tanggung menguji calon presiden dan wakil presiden ini dengan batu uji yang benar-benar tajam. Sehingga presiden yang terpilih nantinya benar-benar sudah melalui ujian yang mendalam tentang wawasan kebangsaan. Oleh sebab itu, seharusnya KPU stidak perlu lagi memberikan kisi-kisi debat karena yang diuji disini bukan anak SMA yang akan mengahadapi ujian akhir sekolah. Tetapi orang yang di uji disini adalah calon presiden yang akan memimpin negara.

Tentunya seorang calon presiden yang kemudian berani maju sebagai calon pastinya sudah dibekali ilmu pengetahuan yang luas tentang kebangsaan. Jadi KPU seharusnya tidak main-main dalam menguji kapabilitas calon presiden dan wakil presiden. Harus benar-benar diuji kedalaman wawasan kebangsaan calon presiden dan wakil presiden salah satunya dengan debat ini tentunya tetapi dengan pertanyaan-pertanyaan dan pengujian-pengujian yang benar-benar tajam. Jika benar-benar ingin menguji calon presiden dan wakil presiden secara benar-benar matang saya rasa debat yang di isi dengan beberapa pertanyaan yang sudah diberikan kisi-kisinya itu tidak cukup.

Jangan lagi ada kisi-kisi soal debat dan skala debat harus lebih luas lagi. Kalau perlu langsung di uji di kampus-kampus yang merupakan kandang ilmu pengetahuan dan langsung berhadapan dengan mahasiswa-mahasiswa yang akan mengkritis habis-habisan calon presiden dan wakil presiden ini. Saya rasa kita sepakat bahwa KPU harus memberikan suatu batu uji yang lebih besar terhadap calon presiden dan wakil presiden agar presiden yang terpilih nantinya benar-benar memiliki wawasan kebangsaan yang luas dan mampu mengeluarkan masyarakat dari dilematik yang saat ini sedang dihadapinya.


Penulis : Indrawan Nur Fuadi

Persaksian Semesta