Pekwaninan usia muda atau yang biasa disebut dengan pernikahan dini bukanlah merupakan permasalahan yang baru-baru muncul dimasyarakat NTB. Hal tersebut sudah menjadi momok yang bisa dikatakan sudah mendegradasi norma dan aturan undang-undang tentang usia pernikahan. Bukan menjadi permasalahan baru yang harus di antisipasi lagi melainkan hal tersebut merupakan permasalahan yang sudah ada sejak lama dan belum juga terselesaikan. Tercatat pada tahun 2018 ada sekitar 4.5% anak-anak yang menikah dibawah usia 15 tahun. Hal tersebut tentu menjadi PR bagi pemerintah NTB yang sekarang untuk mengantisipasi terjadinya pernikawinan dini yang lebih tinggi serta menyelesaikan juga permasalahan tentang pernikahan yang sudah ada. Pernikahan dini banyak sekali membawa efek negatif, baik itu terhadap lingkungan sosial ataupun terhadap dirinya sendiri. Efek negatif yang ditimbulkn oleh pernikahan dini bisa berupa salah satunya seperti menimbulkan depresi berat. Usia yang belum matang tentunya belum mampu menerima semua permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan rumah tangga, tidak hanya membawa efek negatif untuk dirinya sendiri tetapi juga orang lain yang ada disekitarnya. Selain itu hal yang akan rentan terjadi ialah perceraian. Hal itu disebabkan oleh usia yang belum matang dan belum mampu menyikapi segala sesuatu dengan lebih dewasa.
Masih banyak lagi hal-hal negatif yang muncul dari permasalahan pernikahan dini seperti putusnya pendidikan, kekerasan dalam rumah tangga, kesulitan ekonomi yang kemudian membuat anaknya menjadi terlantar, dan munculnya pekerja dibawah umur. Itu merupakan efek negatif yang disebabkan oleh pernikahan dini terhadap lingkungan sekitaranya. Belum lagi kita melihat efek negatif yang didapatkan oleh pelaku pernikahan dini itu sendiri, bisa sangat berbahaya untuk kesehatan fisiknya. Hal-hal yang kemungkinan besar terjadi pada anak yang menikah diusia muda ialah dapat menyebabkan terjadinya tekanan darah yang tinggi. Hamil di usia sangat muda memiliki risiko yang tinggi terhadap naiknya tekanan darah. Seseorang bisa saja menderita preeklampsia, yang ditandai dengan tekanan darah tinggi, adanya protein dalam urin, dan tanda kerusakan organ lainnya.
Pengobatan harus dilakukan untuk mengontrol tekanan darah dan mencegah komplikasi, tetapi secara bersamaan hal ini juga dapat mengganggu pertumbuhan bayi dalam kandungan. Hamil di usia remaja juga dapat menyebabkan anemia saat kehamilan. Anemia ini disebabkan karena kurangnya zat besi yang dikonsumsi oleh ibu hamil. Itu sebabnya, untuk mencegah hal ini, ibu hamil dianjurkan untuk rutin mengonsumsi tablet tambah darah setidaknya 90 tablet selama masa kehamilan. Anemia saat hamil dapat meningkatkan risiko bayi lahir prematur dan kesulitan saat melahirkan. Anemia yang sangat parah saat kehamilan juga dapat berdampak pada perkembangan bayi dalam kandungan. Jika kita menyadari hal itu tentu pernikahan dini merupakan hal yang berisiko untuk dilakukan, baik itu untuk kesehatan diri maupun dampaknya terhadap lingkungan. Untuk itu, pemerintah sangat perlu melakukan hal-hal positif yang dapat membantu mengurangi sekaligus mencegah kasus-kasus pernikahan dini di NTB terjadi lagi.
Namun berbicara tentang pernikahan dini tentu tidak lengkap rasanya jika kita meninjaunya dari segi kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan saja. Pembahasan tentang gender memang selalu menjadi pembahasan yang menarik untuk dikaji. Bahkan sampai saat ini belum bisa dikatakan bahwa pembahasan tentang gender merupakan sesuatu pembahasan yang sudah final untuk didiskusikan. Permasalahan ini sudah ada sejak zaman dahulu dimana hak-hak kaum perempuan sangat dibatasi bahkan di diskriminasi. Tidak hanya tentang kesehatan tetapi banyak hal yang berkaitan dengan keperempuanan selalu dibatasi kebebasannya bahkan untuk berpendapat sekalipun. Sebelum jauh berbicara tentang gender kita coba menyikapi hal-hal yang sudah terjadi dimasa lampau tentang gender dan batas-batas hak perempuan. Secara kultur atau sesuatu yang terbentuk dari kebiasaan masyarakat, Indonesia secara umumnya dan wilayah Nusa Tenggara Barat ini pada khususnya telah muncul sebuah stereotype yang mangatakan dan membatasi bahwa kaum perempuan hanya boleh melakukan hal-hal yang sudah dilabelkan pada perempuan tersebut. Seperti memasak, mencuci, mengurusi anak, dan semua pekerjaan yang ada didalam rumah.
Awal mulanya hal ini disebabkan oleh label yang diberikan masyarakat kepada perempuan yang muncul dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat dan kemudian hal itu menjadi sebuah kultur. Hal ini tentu menjadi sebuah ketidakadilan gender jika kagiatan perempuan dibatasi berdasarkan stereotype tersebut. Namun hal ini banyak tidak disadari oleh masyarakat secara luas karena hal tersebut dalam anggapan mereka merupakan sesuatu yang rumlah dan hal yang sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat. Dalam hal pendidikan pun demikian, stereotype yang muncul dimasyarakat ialah perempuan itu tugasnya hanya didapur dan mengurusi semua urusan rumah sehingga perempuan tidak diharuskan untuk memiliki pendidikan yang tinggi layaknya seorang laki-laki karena ujungnya akan kembali ke dapur juga. Demikianlah stereotype yang muncul didalam masyarakat tentang perempuan yang selama ini tidak disadari oleh masyarakat secara luas. Oleh karena itu tulisan ini mengarahkan kita kepada sebuah pemikiran baru dan sadar bahwa perempuan seharusnya memiliki kebebasan yang sama dengan laki-laki.
Namun saat ini kasus-kasus pernikahan dini tidak cukup lagi jika kita analisa hanya dari perpektif ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Karena dizaman modern seperti sekarang ini dimana perkembangan ilmu pengetahuan mengalami kemajuan yang sangat pesat sehingga ketidaksetaraan gender bisa tertutupi oleh ilmu pengetahuan yang sudah sangat maju. Karena tidak ada lagi batas-batasan antara laki-laki dan perempuan. Jika kita mencoba menelaah secara lebih mendalam pengaruh yang lebih kental terhadap banyaknya kasus pernikahan dini di NTB ini ialah karena adat istiadat dan kultur pada masyarakat. Hal inilah yang kemudian memberikan kemudahan pada masyarakat untuk melakukan pernikahan dini. Bukan berarti kita menafikan budaya yang sudah berkembang pada masyarakat tetapi dalam dunia pendidikan tentu kiranya kita harus mengkaji sisi baik dan dan sisi buruk dari kehidupan sosial masyarakat dan termasuk juga didalamnya kebudayaan masyarakat.
Berdasarkan data BKKBN NTB, 56,7 persen pasangan usia subur menikah pada usia di bawah 21 tahun. “Terdapat juga anak-anak kita yang menikah di bawah usia 15 tahun. Itu sekitar 4,5 persen,” ujar Makrifuddin. Dikatakannya, pasangan menikah di bawah umur di NTB paling banyak terjadi di kabupaten Lombok Timur, kemudian Lombok Utara. (HarianNusa.com 03/05/2019). Hal ini yang kemudian harus kita telaah secara lebih mendalam karena penyumbang pernikahan dini di NTB ini berasal pulau Lombok. Dalam hal ini kita mengetahui bahwa Lombok mempunyai kultur yang disebut dengan merarik. Merarik merupakan adat atau budaya yang berkembang pada masyarakat jika seseorang ingin segera menikah. Hal tersebut dilakukan dengan cara calon mempelai laki-laki mencuri calon mempelai perempuan yang kemudian dibawa ke suatu tempat dan memberi tahu orang tua calon mempelai perempuan dia akan menikahi putrinya.
Kemudian jika kita analisa justru dari budaya yang berkembang tersebut seolah pernikahan menjadi hal yang sangat mudah untuk dilakukan. Karena tidak perlu meminta izin secara langsung dan melalui proses yang panjang untuk menikahi mempelai perempuan kepada orang tuanya. Cukup hanya pada kesepakatan kedua calon pengantin saja pernikahan akan dapat dilakukan dengan cara mencuri si calon mempelai perempuan setelah itu baru calon mempelai pria mengatakan bahwa dia ingin menikahi si mempelai perempuan kepada orang tuanya. Dan orang tua perempuan tidak bisa menolak karena didalam kultur masyarakat jika perempuan sudah dicuri maka harus dinikahi. Dan tidak perlu lagi melakukan hal-hal yang cukup panjang seperti mempelai laki-laki dan keluarganya mendatangi calon mempelai perempuan kemudian melakukan pelamaran terhadap calon mempelai perempuan. Tentu jika seperti itu sebuah pernikahan tidak akan serta merta menjadi hal yang gampang untuk dilakukan.
Saya rasa karena pengaruh budaya yang berkembang pada masyarakatlah yang menjadi penyebab utama terjadinya kasus-kasus pernikahan dini di NTB. Sehingga pernikahan dini ini menjadi momok yang sangat sulit untuk diatasi oleh pemerintah. Untuk itu, perlu adanya peran pemerintah untuk mencerdaskan masyarakat agar sadar bahwa pernikahan dini merupakan sesuatu yang dapat menyebabkan masalah lingkungan dan juga dapat menyebabkan masalah pada kesehatan fisik dari pelaku pernikahan dini itu sendiri. Pemerintah harus melakukan pencerdasan budaya kepada masyarakat agar budaya yang sudah berkembang harus tetap disesuaikan dengan norma dan aturan yang sudah ada terkait batas usia minimal pernikahan. Selain itu masyarakat juga harus mampu melihat sisi-sisi negatif yang akan muncul akibat dari pernikahan dini tersebut. Karena dengan melihat efek-efek nagaitf yang ditimbulkan, masyarakat akan membuat suatu pertimbangan yang sangat berat untuk melakukan pernikahan dengan usia yang sangat muda. Biar bagaimana pun budaya merupakan warisan yang harus tetap dijaga dan dilestarikan dalam kehidupan sosial masyarakat, tetapi perlu dipertimbangkan juga hal-hal negatif akan muncul dari budaya yang berkembang pada masyarakat. Budaya tidak harus di hilangkan tetapi harus dijaga dan harus mampu disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahun.
Penulis : Indrawan Nur Fuadi











