Puisi dan Senja

Senja bukan hanya pertanda hari yang telah usai, ia juga adalah rumah tempat bercerita. Tempat puisi menetap dan sajak paling sunyi di lahirkan.

Opini

Ide itu juga mahkluk hidup, perlu di rawat dan di asah. Menulis adalah salah satu cara paling ideal untuk menjaganya tetap hidup.

Journey

Perjalanan bukan hanya tentang jejak yang tertinggal, tapi ia juga adalah kenangan yang tetap hidup. Setiap orang memiliki caranya masing-masing untuk mengabadikan setiap perjalanan dalam hidupnya. Aku memilih menulis!

Social and Politics

Politik itu akan membunuh jika kita acuh tak acuh terhadapnya, tapi ia akan menjadi peta keadilan sosial jika kita memahaminya dengan baik. Kekuasaan tidak akan berkuasa seenaknya jika setiap mahkluk sosial memiliki peran dan peduli dalam setiap agenda politik. Harmonisasi kehidupan sosial adalah tujuan utama politik. Bukan kekuasaan!

Religion and Culture

Agama dan budaya adalah perpaduan. Beberapa orang sering menganggapnya bertentangan, tetapi agama dan budaya justru menjadi benda paling purba yang melekatkan manusia pada karakteristik dan nilai dalam kehidupan.

Senin, 31 Desember 2018

Narasi Politik Bangsa Ini Tidak Sehat


Narasi politik bangsa ini memang perlu dipetanyakan lagi letak akal sehatnya. Narasi-narasi politik yang muncul saat ini bisa kita nilai secara objektif maupun subjektif sangat jauh dari kedewasaan dalam berfikir. Hal itu membuat masyarakat resah dan terpolarisasi karena ulah para politisi yang mengemas pembahasan-pembahasan yang tidak bermutu dan kemudian hal itu disuapi secara langsung kepada publik. Hal ini tentu menimbulkan pro kontra di masyarakat karena di cemari dengan narasi-narasi politik yang tidak sehat dan tidak mendidik dan sangat jauh dari esensi dari tujuan politik itu sendiri.

Adu gagasan dan program-program kerja yang seharusnya menjadi esensi pembicaraan capres cawapres di hanguskan oleh pembahasan isu-isu yang jauh dari pembahasan politik secara akal sehat. Hal-hal yang dikedepankan sangat bersifat renyah dan sebenarnya tidak perlu menjadi asumsi publik. Pembahasan mengenai permasalahan-permasalahan bangsa tidak menjadi topik utama yang seharusnya dikaji dengan lebih serius agar masyarakat tidak dungu’ dalam menilai kriteria pemimpin yang akan di pilih.

Namun malah sebaliknya masyarakat dipaksa menilai berdasarkan narasi-narasi konyol yang selama ini menjadi asumsi publik. Cebong, kampret, sontoloyo, tambang boyolali menjadi isu yang lebih dikedepankan untuk dibahas. Untuk itu tidak salah jika kita menilai narasi politik bangsa ini sedang sakit atau tidak sehat. Baru-baru ini kembali muncul adu keislaman tiket menuju istana dengan mengadu kedua calon menjadi imam sholat. Jika kita merujuk pada kontestatasi yang sudah-sudah hal semacam ini tidak pernah ada sebelumnya.

Tetapi kemudian saat ini hal-hal semacam ini menjadi garis terdepan yang diperbincangkan dan kemudian menjadi sangat penting untuk kriteria seorang calon presiden. Sedangkan yang seharusnya menjadi gagasan penting yang harus dibangun dalam kontestasi politik kian dikesampingkan. Seperti isu ekonomi, penyampaian gagasan dan program kerja, visi misi dan lain sebagainya menjadi nomor terakhir yang di suguhkan kepada publik. Seolah yang terpenting bagi mereka ialah menambah elektabilitas dengan mengedepankan isu-is yang bersifat renyah.

Mengedepankan isu-isu agama yang kemudian dikemas untuk menunjang elektabilitas dengan menjual agama sebagai modal mendapatkan banyak suara. Dalam pandangan saya hal itulah yang saat ini terjadi dalam realita perpolitikan bangsa ini. Minim gagasan dan program kerja dan yang menjadi pertarungan ialah perang dengan kata-kata yang tidak ada esensinya dengan tujuan dari politik itu sendiri. Mungkin jika Tuhan berwujudpun akan dijual, itulah kondisi politik saat ini. Sedikit sehatnya dan lebih banyak gilanya. 

Melihat keadaan ini saya teringat teori Erving Goffman tentang Dramaturgi yang menjelaskan bahwa kehidupan adalah sandiwara yang disajikan oleh manusia. Teori Dramaturgi merupakan sebuah teori yang menjelaskan bahwa di dalam kegiatan interaksi satu sama lain sama halnya dengan pertunjukkan sebuah drama. Dalam hal ini, manusia merupakan aktor yang menampilkan segala sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu melalui drama yang dilakukannya. Identitas seorang aktor dalam berinteraksi dapat berubah, tergantung dengan siapa sang aktor berinteraksi (Widodo, 2010:167).

Menelaah keadaan politik saat ini jika menggunakan perspektif teori Goffman sebut saja bahwa kontastasi politik saat ini hanyalah sebuah drama yang disajikan untuk meraih elektabilitas dan suara terbanyak dari masyarakat. Gagasan-gagasan yang disampaikan lebih mengarah kepada kepentingan elektabilitas dan melupakan visi dan misi yang seharusnya menjadi motor pembahasan yang paling penting untuk menuju Indonesia yang lebih baik lagi. Menggunakan pespektif teori Goffman patut kita curigai bahwa gagasan yang disampaikan berbeda dengan citra dan fakta-fakta yang ada didalam diri orang yang menyampaikan tersebut. Semua hanya tentang elektabilitas dan suara rakyat. Mungkin tidak salah jika kita menyebut bahwa narasi politik bangsa Indonesia saat ini adalah drama yang tidak menyehatkan.

Naïf, Imam Sholat Di Perlombakan

Setelah melalui pembahasan cebong, kampret, sontoloyo, tampang boyolali yang sempat viral dibicarakan baik itu di media masa, di dunia maya maupun di dunia nyata. Kini kembali disuguhkan dengan membawa isu agama yang seolah diperlombakan dan dijadikan tiket menuju istana dengan mengukur kadar keislaman kedua calon presiden melalui perlombaan menjadi imam sholat. Hal yang semulanya tidak menjadi sesuatu yang penting dalam kontestasi politik kini menjadi sangat penting bahkan seolah dijadikan tiket menuju istana. Saya seolah ingin menyimpulkan bahwa sebenarnya isu-isu agama adalah modal yang paling kuat untuk mendongkrak elektabilitas.

Isu-isu agama tiba-tiba menjadi the power of elektabilitas yang sangat naïf digunakan untuk mendapatkan suara terbanyak dari masyarakat. Seolah-olah menjadi senjata paling ampuh  untuk saling merebut elektabilitas. Seperti isu yang disuguhkan bahwa Prabowo Subianto selaku calon presiden nomor urut 2 dikatakan bukan keturunan agama Islam. Begitu juga anggapan yang beredar terhadap calon presiden petahana Joko Widodo yang mengatakan bahwa bapak Joko Widodo adalah PKI. Isu-isu seperti ini tentu tidak terlepas dari kontaminasi agama sampai pada adu keislaman dengan perlombaan menjadi imam sholat.

Sangat jauh berbeda jika kita melihat kebelakang. Narasi politik saat ini sangat jauh dari nilai-nilai esensial dari tujuan politik. Narasi yang disuguhkan sangat tidak menyehatkan publik, bahkan bisa menyebabkan masyarakat ikut-ikutan dungu’ dalam menilai keadaan politik saat ini. Ikut-ikutan membawa isu-isu yang konyol, ikut-ikutan membawa isu-isu agama sebagai modal kampanye elektabilitas, dan banyak lagi isu-isu konyol yang mencemari cara berfikir masyarakat dalam menilai realita politik bangsa ini. Dan saya rasa semua itu terjadi karena tidak sehatnya drama yang dimainkan oleh para politisi hingga masyarakat juga terkena getah dari drama konyol yang sedang disandiwarakan.

Politik Tidak Sehat, Masyarakat Harus Cerdas

Menelaah kembali narasi politik bangsa ini tentu membutuhkan kecerdasan dalam menilainya. Tidak bisa kita sebagai masyarakat begitu disuguhkan dengan narasi-narasi politik lalu bersifat apatis dan tidak mau menelaahnya secara lebih mendalam. Jangan sampai asupan-asupan narasai politik menanggelamkan kekritisan kita dalam menilai segala bentuk kebijakan politik dengan akal sehat yang lebih rasional. Untuk itu masyarakat dituntut untuk cerdas dalam hal ini, jangan lagi terkecoh dengan pembahasan yang tidak bersifat penting dan konyol.

Narasi politik bangsa ini memang sedang mengalami gangguan pencernaan dan tidak bisa menemukan cara untuk mencapai politik akal sehat seperti yang di dambakan. Politik seolah menjadi sebuah wadah yang berisi air minum yang diperebutkan untuk menghilangkan dahaga kekuasaan. Disitulah letak tidak sehatnya politik bangsa ini, bukannya adu gagasan visi dan misi tetapi sibuk saling tebar pesona dan berbalas puisi hanya demi mendapatkan elektabilitas yang tinggi. Disinilah masyarakat dituntut untuk lebih cerdas lagi dalam menilai sehat dan tidak sehatnya narasi politik bangsa ini.



Penulis : Indrawan Nur Fuadi

Persaksian Semesta