Narasi politik bangsa ini memang perlu dipetanyakan lagi letak akal
sehatnya. Narasi-narasi politik yang muncul saat ini bisa kita nilai secara
objektif maupun subjektif sangat jauh dari kedewasaan dalam berfikir. Hal itu
membuat masyarakat resah dan terpolarisasi karena ulah para politisi yang
mengemas pembahasan-pembahasan yang tidak bermutu dan kemudian hal itu disuapi
secara langsung kepada publik. Hal ini tentu menimbulkan pro kontra di
masyarakat karena di cemari dengan narasi-narasi politik yang tidak sehat dan
tidak mendidik dan sangat jauh dari esensi dari tujuan politik itu sendiri.
Adu gagasan dan program-program kerja yang seharusnya menjadi esensi pembicaraan
capres cawapres di hanguskan oleh pembahasan isu-isu yang jauh dari pembahasan
politik secara akal sehat. Hal-hal yang dikedepankan sangat bersifat renyah dan
sebenarnya tidak perlu menjadi asumsi publik. Pembahasan mengenai
permasalahan-permasalahan bangsa tidak menjadi topik utama yang seharusnya
dikaji dengan lebih serius agar masyarakat tidak dungu’ dalam menilai kriteria
pemimpin yang akan di pilih.
Namun malah sebaliknya masyarakat dipaksa menilai berdasarkan narasi-narasi
konyol yang selama ini menjadi asumsi publik. Cebong, kampret, sontoloyo,
tambang boyolali menjadi isu yang lebih dikedepankan untuk dibahas. Untuk itu
tidak salah jika kita menilai narasi politik bangsa ini sedang sakit atau tidak
sehat. Baru-baru ini kembali muncul adu keislaman tiket menuju istana dengan
mengadu kedua calon menjadi imam sholat. Jika kita merujuk pada kontestatasi
yang sudah-sudah hal semacam ini tidak pernah ada sebelumnya.
Tetapi kemudian saat ini hal-hal semacam ini menjadi garis terdepan yang
diperbincangkan dan kemudian menjadi sangat penting untuk kriteria seorang
calon presiden. Sedangkan yang seharusnya menjadi gagasan penting yang harus
dibangun dalam kontestasi politik kian dikesampingkan. Seperti isu ekonomi,
penyampaian gagasan dan program kerja, visi misi dan lain sebagainya menjadi
nomor terakhir yang di suguhkan kepada publik. Seolah yang terpenting bagi
mereka ialah menambah elektabilitas dengan mengedepankan isu-is yang bersifat
renyah.
Mengedepankan isu-isu agama yang kemudian dikemas untuk menunjang
elektabilitas dengan menjual agama sebagai modal mendapatkan banyak suara.
Dalam pandangan saya hal itulah yang saat ini terjadi dalam realita
perpolitikan bangsa ini. Minim gagasan dan program kerja dan yang menjadi
pertarungan ialah perang dengan kata-kata yang tidak ada esensinya dengan
tujuan dari politik itu sendiri. Mungkin jika Tuhan berwujudpun akan dijual,
itulah kondisi politik saat ini. Sedikit sehatnya dan lebih banyak gilanya.
Melihat keadaan ini saya teringat teori Erving Goffman
tentang Dramaturgi yang menjelaskan bahwa kehidupan adalah sandiwara yang
disajikan oleh manusia. Teori Dramaturgi merupakan sebuah teori yang menjelaskan bahwa di
dalam kegiatan interaksi satu sama lain sama halnya dengan pertunjukkan sebuah
drama. Dalam hal ini, manusia merupakan aktor yang menampilkan segala sesuatu
untuk mencapai tujuan tertentu melalui drama yang dilakukannya. Identitas
seorang aktor dalam berinteraksi dapat berubah, tergantung dengan siapa sang
aktor berinteraksi (Widodo, 2010:167).
Menelaah
keadaan politik saat ini jika menggunakan perspektif teori Goffman sebut saja
bahwa kontastasi politik saat ini hanyalah sebuah drama yang disajikan untuk
meraih elektabilitas dan suara terbanyak dari masyarakat. Gagasan-gagasan yang
disampaikan lebih mengarah kepada kepentingan elektabilitas dan melupakan visi
dan misi yang seharusnya menjadi motor pembahasan yang paling penting untuk menuju
Indonesia yang lebih baik lagi. Menggunakan pespektif teori Goffman patut kita
curigai bahwa gagasan yang disampaikan berbeda dengan citra dan fakta-fakta
yang ada didalam diri orang yang menyampaikan tersebut. Semua hanya tentang
elektabilitas dan suara rakyat. Mungkin tidak salah jika kita menyebut bahwa
narasi politik bangsa Indonesia saat ini adalah drama yang tidak menyehatkan.
Naïf, Imam Sholat Di Perlombakan
Setelah
melalui pembahasan cebong, kampret, sontoloyo, tampang boyolali yang sempat
viral dibicarakan baik itu di media masa, di dunia maya maupun di dunia nyata.
Kini kembali disuguhkan dengan membawa isu agama yang seolah diperlombakan dan
dijadikan tiket menuju istana dengan mengukur kadar keislaman kedua calon
presiden melalui perlombaan menjadi imam sholat. Hal yang semulanya tidak
menjadi sesuatu yang penting dalam kontestasi politik kini menjadi sangat
penting bahkan seolah dijadikan tiket menuju istana. Saya seolah ingin
menyimpulkan bahwa sebenarnya isu-isu agama adalah modal yang paling kuat untuk
mendongkrak elektabilitas.
Isu-isu
agama tiba-tiba menjadi the power of elektabilitas
yang sangat naïf digunakan untuk mendapatkan suara terbanyak dari
masyarakat. Seolah-olah menjadi senjata paling ampuh untuk saling merebut elektabilitas. Seperti
isu yang disuguhkan bahwa Prabowo Subianto selaku calon presiden nomor urut 2
dikatakan bukan keturunan agama Islam. Begitu juga anggapan yang beredar
terhadap calon presiden petahana Joko Widodo yang mengatakan bahwa bapak Joko
Widodo adalah PKI. Isu-isu seperti ini tentu tidak terlepas dari kontaminasi
agama sampai pada adu keislaman dengan perlombaan menjadi imam sholat.
Sangat
jauh berbeda jika kita melihat kebelakang. Narasi politik saat ini sangat jauh
dari nilai-nilai esensial dari tujuan politik. Narasi yang disuguhkan sangat
tidak menyehatkan publik, bahkan bisa menyebabkan masyarakat ikut-ikutan dungu’
dalam menilai keadaan politik saat ini. Ikut-ikutan membawa isu-isu yang
konyol, ikut-ikutan membawa isu-isu agama sebagai modal kampanye elektabilitas,
dan banyak lagi isu-isu konyol yang mencemari cara berfikir masyarakat dalam
menilai realita politik bangsa ini. Dan saya rasa semua itu terjadi karena
tidak sehatnya drama yang dimainkan oleh para politisi hingga masyarakat juga
terkena getah dari drama konyol yang sedang disandiwarakan.
Politik Tidak Sehat, Masyarakat Harus
Cerdas
Menelaah
kembali narasi politik bangsa ini tentu membutuhkan kecerdasan dalam
menilainya. Tidak bisa kita sebagai masyarakat begitu disuguhkan dengan
narasi-narasi politik lalu bersifat apatis dan tidak mau menelaahnya secara
lebih mendalam. Jangan sampai asupan-asupan narasai politik menanggelamkan
kekritisan kita dalam menilai segala bentuk kebijakan politik dengan akal sehat
yang lebih rasional. Untuk itu masyarakat dituntut untuk cerdas dalam hal ini,
jangan lagi terkecoh dengan pembahasan yang tidak bersifat penting dan konyol.
Narasi
politik bangsa ini memang sedang mengalami gangguan pencernaan dan tidak bisa
menemukan cara untuk mencapai politik akal sehat seperti yang di dambakan.
Politik seolah menjadi sebuah wadah yang berisi air minum yang diperebutkan
untuk menghilangkan dahaga kekuasaan. Disitulah letak tidak sehatnya politik
bangsa ini, bukannya adu gagasan visi dan misi tetapi sibuk saling tebar pesona
dan berbalas puisi hanya demi mendapatkan elektabilitas yang tinggi. Disinilah
masyarakat dituntut untuk lebih cerdas lagi dalam menilai sehat dan tidak
sehatnya narasi politik bangsa ini.
Penulis : Indrawan Nur Fuadi